S. Miharja, uin bandung
10 Aspirasi,
Kematangan, Dan Efikasi Karir
A. ASPIRASI KERJA
Pemahaman akan aspirasi kerja, menjadi
penting ketika terdapat fakta adanya sejumlah individu yang merasa tidak memiliki
kemampuna untuk berhasil
dalam mencapai cita-cita pekerjaan. Demikian juga masih banyak pemikiran bahwa persyaratan pendidikan berada
di luar sumber daya mereka yang akan memasuki dunia kerja. Pandangan lain tidak sedikit juga,
para angkatan kerja yang tidak didukung oleh keluarga dan teman-teman dalam
melakukan pekerjaan. Aspirasi secara umum dapat memahami masyarakat akan
hambatan sosial untuk masuk ke dalam
keberhasilan kerja mereka.
Untuk memahami aspirasi kerja,
setidaknya terdapat dua teori yang telah membangun konstruksi tentang aspirasi
kerja. Teori pertama menggunakan psikologo social, dan kedua menggunakan tugas
perkembangan karir. Dalam pandangan teori psikologi sosial, aspek budaya, gender, dan berbagai peristiwa dalam kehidupan
berinteraksi dengan preferensi karir individu. Interaksi
itu kemudian menentukan
aspirasi dan pilihan karir. Teori psikologi social menekankan pada cara bahwa atribut individu
dibentuk oleh pengalaman dan sekitarnya.
Dalam teori perkembangan karir, aspirasi
berada pada tahap ekspolorasi (Super, 1990). Dalam tahap perkembangan karir,
telah direntangkan lima tangga tugas perkembangan yakni masa pertumbuhan, eksplorasi, pembentukan,
pemeliharaan dan
pelepasan. Aspirasi
dimulai pada tahap eksplorasi,
sekitar usia 14 dan ditandai oleh pengerucutan pilihan karir, dari fantasi karir, identifikasi pilihan tentatif, untuk
keputusan akhir tentang karir pilihan.
Lebih lanjut, Super mengemukakan bahwa konsep diri memainkan peran
penting dalam pengembangan karir. Bahkan, aspirasi karir dipandang sebagai
representasi dari konsep diri individu. Aspirasi Kerja dapat berubah seiring
waktu, namun mereka cenderung menjadi semakin stabil seperti pada
remaja dewasa.
Terdapat hubungan berkelanjutan antara
aspirasi dan
pencarian kerja. Keterkaitan erat ini kemudian melibatkan banyak pihak.
Aspirasi dan pencarian kerja merupakan topik yang sangat penting untuk para
peneliti, pencari kerja dan
praktisi yang membantu pencari kerja. Banyak stakeholder yang
memiliki kepentingan termasuk individu,
lembaga pendidikan, konselor karir, organisasi, dan masyarakat pada umumnya.
Dalam pencarian kerja berhubungan dengan berbagai orang, termasuk mereka yang telah menderita
kehilangan pekerjaan, relawan, individu yang memasuki dunia kerja untuk pertama
kalinya, dan juga individu yang ingin mengubah pekerjaan mereka,
organisasi, atau bahkan karir.
Pencarian kerja sendiri
merupakan proses yang
terdiri dari mengumpulkan informasi tentang kesempatan kerja potensial,
menghasilkan dan mengevaluasi alternatif pekerjaan, dan memilih pekerjaan dari berbagai
alternatif. Kegiatan ini menentukan
jenis dan jumlah informasi yang diperoleh pencari kerja untuk mendapatkan lowongan pekerjaan serta jumlah kesempatan
kerja.
Proses pencarian
kerja merupakan urutan kegiatan
logis. tahap pencarian kerja terdiri dari dua tangga,
yakni perencanaan
pencarian kerja dan kemudian mencari pekerjaan dan memilihnya. Mencari pekerjaan dimulai dengan
sebuah pencarian untuk mengumpulkan informasi dan mengidentifikasi peluang
kerja diikuti dengan pencarian yang lebih intensif yang melibatkan perolehan
informasi spesifik tentang pekerjaan.
KEMATANGAN
KARIER
Kematangan karier merupakan kemampuan individu dalam pola
mengaktualisasikan dirinya sesuai kemampuan yang dimilikinya dalam menunjang
arah karier dimasa yang akan datang. Super (dalam Winkel, 2004:633) mendefinisikan kematangan karier
sebagai keberhasilan individu untuk menyelesaikan tugas-tugas perkembangan
karier yang khas bagi tahap perkembangan tertentu. Super (dalam Savickas, 2001,
53) menjelaskan bahwa individu dikatakan matang atau siap untuk membuat
keputusan karier jika pengetahuan yang dimilikinya untuk membuat keputusan
karier didukung oleh informasi yang adekuat mengenai pekerjaan berdasarkan
eksplorasi yang telah dilakukan.
Kematangan
karier individu akan berbeda bergantung pada tahap perkembangan karier
individu. Kematangan dapat mengidentifikasi kesempatan dan tingkat pekerjaan
yang sesuai serta mempertimbangkan kebutuhan,
minat, kapasitas kompetensi, dan nilai
pribadi. Oleh karena itu konsep kematangan karier bersifat normatif,
artinya harus ada kesesuaian antara perkembangan karier individu dengan
perkembangan yang diharapkan.
Kematangan
karier individu terkait dengan tahap perkembangan karier individu. Sebagai
contoh jika tahap perkembangan karier pada usia 18 – 25 tahun merupakan tahap
perkembangan karier usia mahasiswa. Pada kematangan usia tersebut, mereka harus
mengidentifikasi kesempatan dan tingkat pekerjaan yang sesuai serta
mempertimbangkan kebutuhan, minat, kapasitas kompetensi, dan nilai pribadi.
Oleh karena itu konsep kematangan karier harus bersifat normatif, artinya harus
ada kesesuaian antara perkembangan karier individu dengan perkembangan yang
diharapkan pada usia tertentu. Asumsinya semakin mendekati kesesuaian antara
perkembangan yang ada dengan yang diharapkan, maka akan semakin kuat atau besar
kemungkinan untuk mencapai kematangan karier. Dengan demikian kematangan karier
dapat diketahui dengan sejauh mana serta bagaimana individu memenuhi tahapan
perkembangan arah karier.
Menurut
Super (dalam Savickas, 2001) kematangan karier untuk tahap kristalisasi
mencakup lima aspek yaitu: (a) Perencanaan Karier, (b) Eksplorasi Karier, (c)
Informasi Dunia Kerja, (d) Pengetahuan Mengenai Jenis Pekerjaan yang Diminati,
dan (e) Pengambilan Keputusan.
Pada
tahap perencanaan karier, individu menyadari bahwa dirinya harus membuat
pilihan pendidikan dan vokasional, serta mempersiapkan diri untuk membuat
pilihan tersebut. Berdasarkan pemikirannya individu memikirkan suatu langkah
atau perencanaan untuk mempersiapkan masa depannya, yang dapat meliputi
pendidikan, latihan, pekerjaan, serta penambahan kemampuan berupa kursus-kursus
dan lain-lain.
Eksplorasi
karier merupakan kemauan individu untuk memperoleh informasi mengenai dunia
kerja umumnya dan untuk memilih salah satu bidang pekerjaan khususnya. Dalam
pencarian informasi dapat melalui teman, lingkungan keluarga (orang tua),
saudara, pembimbing atau orang dewasa yang memegang jabatan atau pekerjaan
tertentu. Informasi karier juga dapat dilakukan melalui ekplorasi media masa
baik audio dan visual atau melalui media radio dan teknologi informasi.
Kegunaan
informasi karier ini adalah untuk membantu dalam proses perencanaan yang akan
dibuat individu serta melakukan aktivitas yang mendukung perencanaan yang telah
ada untuk meraih karier yang diharapkan.
Kondisi
ini menunjukan pada kemampuan untuk menggunakan informasi tentang karier yang
dimiliki untuk dirinya, serta mulai mengkristalisasikan pilihan pada bidang dan
tingat pekerjaan tertentu. Informasi sangat penting dalam menentukan arah
pendidikan atau arah pekerjaan yang akan dilalui. Tahapan ini perlu
diperhatikan, mengingat sangat penting dalam membuat perencanaan dari informasi
yang telah ada. Jika informasi salah, maka akan berdampak pada kesulitan
individu melakukan suatu perencanaan. Adanya keterbatasan informasi yang
dimiliki individu akan menghambat proses pemilihan pendidikan atau pekerjaan.
Pada
tahapan ini individu dihadapkan pada situasi memilih pekerjaan yang akan
ditekuni sesuai dengan minat dan kemampuannya. Individu harus berpikir
realistic terhadap minat dan kemampuannya dalam menentukan pilihan karier yang
akan diambilnya. Pandangan Super menunjukan bahwa setiap individu memiliki
kumpulan minat dan kemampuan. Hal ini harus disesuaikan dengan minat dan kemampuan yang telah dimiliki.
Pada
tahapan ini individu mengetahui hal yang harus dipertimbangkan dalam membuat
pilihan pendidikan dan pekerjaan, kemudian membuat pilihan pekerjaan yang
sesuai dengan minat dan kemampuan. Pengambilan keputusan memberikan makna pada
tahapan dimana individu harus memiliki kesadaran dan pertimbangan sebagai dasar
untuk mengambil keputusan mengenai pendidikan dan pekerjaan. Kegagalan dalam
mengambil keputusan akan merugikan individu, baik dari segi waktu maupun usaha
yang telah dilakukan.
Kematangan
karir (career maturity) terdiri dari kesiapan, sikap dan kemampuan dalam
pencapaian tugas perkembangan karir pada tahapan perkembangan karir
tertentu. Langley (1989) telah
mengintegrasikan pendekatan Super (1980)
dan Crites (1981); serta
Westbrook (1983) telah merancang
skala yang disebut Skala Kematangan Karir. Skala kematangan karir ini meliputi pengetahuan
diri, pembuatan keputusan karir, informasi karir, integrasi, pengetahuan
tentang diri dan karir, dan perencanaan karir.
Lebih lanjut
Langley (1989), mengaitkan komponen kematangan karir dengan tugas perkembangan
dalam integrasi proses perkembangan; lalu kematangan karir dan tugas
perkembangan tersebut dikaitkan dengan masalah-masalah karir yang relevan.
1) Komponen
Pengetahuan diri, mencakup tugas perkembangan pada keinginan-keinginan peran dalam kehidupan,
nilai-nilai diri, dan minat pekerjaan. Masalah karir yang relevan antara lain
diri pribadi, agama, nilai, moral, dan minat pekerjaan.
2) Komponen
pembuatan keputusan karir, mencakup tugas perkembangan pada membuat keputusan dan pemilihan pekerjaan. Masalah
karir yang relevan antara lain memutuskan pilihan, manajemen waktu, serta
ekonomi dan keuangan.
3) Komponen
informasi karir, mencakup tugas perkembangan pada Informasi pekerjaan (dari
lingkungan). Masalah karir yang relevan antara lain informasi dari pada
hubungan social, hubungan social, hubungan teman sebaya, dan hubungan keluarga.
4) Komponen
integrasi pengetahuan diri dengan pengetahuan karir, mencakup tugas
perkembangan pada integrasi pengetahuan diri dengan pengetahuan karir. Masalah
karir yang relevan antara lain rumah tinggal dan lingkungan, keadaan keluarga dan Pasar kerja.
5) Komponen
perencaaan karir, mencakup tugas perkembangan pada Perencanaan karir. Masalah
karir yang relevan antara lain merencanakan pekerjaan, pendidikan, pelatihan
dan kursus, serta pendidikan lanjut dan masa depan
EFIKASI
Keyakinan diri
(self-efficacy), yang kemudian diistilahkan disini dengan “efikasi” merupakan
keyakinan seseorang terhadap kemampuan yang dimilikinya untuk mengorganisasikan
dan bisa menampilkan perilaku performa yang efektif sehingga bisa menyelesaikan
tugas tertentu dengan baik serta merupakan salah satu faktor personal yang
menjadi perantara antara faktor perilaku dan faktor lingkungan.
Keyakinan
diri adalah sebuah konsep yang dirumuskan oleh Albert Bandura, guru besar
psikologi di Standford University, dan bersumber dari social learning theory.
Menurut Bandura (1997), “Self-efficacy is
a major basic of action. People guide their lives by their beliefs of personal
efficacy. Keyakinan diri refers to beliefs in one‟s capabilities to organize and execute the courses of action
required to produce given attainments. Keyakinan diri merupakan keyakinan akan kemampuan individu
untuk dapat mengorganisir dirinya dan melaksanakan serangkaian tindakan yang dipandang perlu untuk mencapai
suatu hasil yang diharapkan. Dengan asumsi tersebut keyakinan diri merupakan
satu keyakinan yang mendorong individu untuk melakukan dan untuk mencapai
sesuatu yang dituju. Teori keyakinan diri merupakan upaya untuk memahami keberfungsian
kehidupan manusia dalam pengendalian diri, pengaturan proses berpikir,
motivasi, kondisi afektif dan psikologis (Bandura, 1997, 36). Melalui
perspektif ini, keyakinan diri diyakini dapat membuat individu mampu
menafsirkan dan menerjemahkan faktor-faktor internal dan eksternal ke dalam
tindakan nyata. Menurut Bandura dalam
Alwisol (2006:344) menunjukan bahwa keyakinan diri merupakan persepsi diri
mengenai seberapa bagus diri dapat berfungsi dalam situasi tertentu. Keyakinan
diri berhubungan dengan keyakinan bahwa diri memiliki kemampuan melakukan
tindakan yang diharapkan.
Norwich
(dalam Azwar, 1996) mendefinisikan keyakinan
diri sebagai salah satu faktor personal yang menjadi perantara interaksi
antara faktor perilaku dan faktor lingkungan. Tingginya keyakinan diri yang
dipersepsikan akan memotivasi individu secara kognitif untuk bertindak lebih
terarah, terutama apabila tujuan yang hendak dicapai merupakan tujuan yang
jelas.
Bandura
(1997) berpendapat bahwa keyakinan diri adalah kemampuan umum yang terdiri atas
aspek-aspek kognitif, sosial, emosional dan perilaku, dan individu harus mampu
mengolah aspek-aspek itu untuk mencapai tujuan tertentu. Lebih lanjut,
diingatkan bahwa keyakinan diri merupakan sebuah instrumen multi guna karena
konsep ini tidak hanya berkaitan dengan kemampuan, namun juga mampu menumbuhkan
keyakinan bahwa individu dapat melakukan berbagai hal dalam berbagai kondisi.
Dengan kata lain, keyakinan diri berlaku sebagai mesin pembangkit kemampuan
manusia. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika seseorang memiliki
keyakinan diri yang kuat, maka ia bermotivasi tinggi dan bahkan menunjukkan
pandangan yang ekstrim dalam menghadapi suatu situasi.
Alwisol
(2006:344) mengemukakan keyakinan diri adalah penilaian diri, apakah dapat melakukan
tindakan yang baik atau buruk, tepat atau salah, bisa atau tidak bisa
mengerjakan sesuai dengan yang dipersyaratkan. Keyakinan diri berbeda dengan
aspirasi (cita-cita), karena cita-cita menggambarkan sesuatu yang ideal yang
seharusnya dapat dicapai, sedangkan keyakinan diri menggambarkan penilaian
kemampuan diri.
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut diatas dapat
disimpulkan bahwa keyakinan diri dalam
berkarier adalah keyakinan seseorang terhadap kemampuan yang dimilikinya
untuk mengorganisasikan dan bisa menampilkan perilaku performa yang efektif
sehingga bisa menyelesaikan tugas tertentu dengan baik serta merupakan salah
satu faktor personal yang menjadi perantara antara faktor perilaku dan faktor
lingkungan.
Asumsi tersebut mendasari pemikiran bahwa keyakinan diri secara
sederhana dapat diartikan sebagai keyakinan diri atau keyakinan terhadap
kemampuan diri.
b. Fungsi
Keyakinan Diri dalam Kehidupan
Hubungan keyakinan diri dengan aspek-aspek karier sudah diteliti
oleh peneliti sebelumnya. Penelitian keterkaitan keyakinan diri dengan
keputusan karir antara lain oleh Taylor,
K.M., & Betz,
N.E. (1983); Taylor, K.M., &
Popma, J. (1990); Bergeron, L.M.,
& Romano, J.L.
(1994); Creed, P., Patton, W.,
& Prideaux, L.
(2006). Penelitian hubungan budaya, status social, minat karir dan
keyakinan diri oleh Mau, W.
(2000); Nauta, M.M & Kahn, J.H. (2007); Oettingen, G.
& Zosuls, K.M.
(2006).
Perubahan tingkah
laku dalam konsep Bandura (Alwisol, 2006:345) adalah perubahan keyakinan diri.
Keyakinan diri dapat diperoleh, diubah, ditingkatkan atau diturunkan, melalui
salah satu atau kombinasi empat sumber, yakni pengalaman menguasai sesuatu
prestasi (performance accomplishment), pengalaman vikarius (vicarious experience), persuasi social (social persuation) dan pembangkitan emosi (emotional/Physiological states).
Menurut Hjelle & Ziegler (1992), keyakinan diri memiliki lima macam fungsi dalam kehidupan
individu.
Pertama, menentukan pilihan tingkah laku. Seseorang akan
cenderung memilih tugas yang diyakininya mampu untuk diselesaikan dengan baik
dan akan menghindari suatu tugas yang dianggap sulit dilaksanakan dengan baik.
Lebih lanjut, juga disebutkan bahwa dalam pemilihan aktivitas, individu
cenderung menghindari tugas-tugas dan situasi yang diyakini melebihi kemampuan
dirinya dan cenderung melakukan tugas yang berada dalam jangkauannya.
Kedua, menentukan seberapa
besar usaha dan ketekunan yang dilakukan. Keyakinan
diri menentukan seberapa besar usaha yang dapat dilakukan seseorang dan berapa
lama dirinya bertahan dalam menghadapi kesulitan. Keyakinan diri yang dimiliki individu juga akan
menentukan pembentukan komitmen individu dalam pencapaian tujuan dari hal-hal
yang dilakukannya (Smither, 1994).
Ketiga, mempengaruhi pola pikir dan reaksi emosional. Penilaian
mengenai kemampuan seseorang juga memiliki pengaruh terhadap pola pikir dan
reaksi emosionalnya. Individu dengan keyakinan
diri rendah akan menilai dirinya
tidak mampu mengerjakan tugas dan menghadapi tuntutan lingkungan. Mereka juga
cenderung lebih memikirkan kekurangan dirinya daripada berusaha memperbaikinya.
Hal yang sebaliknya justru terjadi pada individu dengan keyakinan diri tinggi.
Keempat, meramalkan tingkah laku selanjutnya. Individu dengan keyakinan diri yang tinggi akan
berbeda dengan individu dengan keyakinan
diri yang rendah dalam bertindak dan berperasaan.
Kelima, menunjukkan kinerja selanjutnya. Keyakinan diri dapat berpengaruh terhadap kinerja yang akan
dilakukan seseorang. Penguasaan materi yang menghasilkan kesuksesan dapat
membangun keyakinan diri seseorang.
Di lain pihak, kegagalan yang tercipta justru dapat menurunkan keyakinan diri (Bandura, 1997).
Fungsi efikasi dalam kehidupan digunakan untuk menentukan pilihan tingkah laku guna
memilih tugas yang diyakininya dapat dikerjakan dengan baik dan menghindari
tugas yang sulit, menentukan seberapa besar usaha dan ketekunan yang diperlukan
untuk menyelesaikan tugas tersebut, mempengaruhi pola pikir dan reaksi
emosional terhadap mampu atau tidaknya individu dalam menyelesaikan tugas,
meramalkan tingkah laku selanjutnya, serta menunjukkan kinerja selanjutnya di
mana kesuksesan akan mampu berpengaruh positip terhadap efikasi yang dimiliki.
Sumber pengontrol
tingkah laku dalam kehidupan individu adalah resiprokal antara lingkungan,
tingkah laku, dan pribadi. Efikasi merupakan variable pribadi yang sangat
penting, jika digabung dengan tujuan-tujuan khusus serta pemahaman mengenai
prestasi, maka akan menjadi factor penentu tingkah laku mendatang yang penting.
Dengan demikian efikasi dapat memberikan arah perkembangan individu pada waktu
yang akan datang. Jika individu memiliki efikasi yang tinggi, maka diharapkan
individu tersebut akan melakukan perilaku yang lebih responsive terhadap
lingkungan, tingkah laku itu sendiri serta pribadinya.
c. Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Efikasi
Bandura (1997)
menunjukan bahwa keyakinan terhadap kemampuan diri akan mempengaruhi bagaimana
individu merasakan, berpikir, memotivasi diri, dan bertingkah laku.
Dalam kehidupan manusia, memiliki efikasi merupakan hal yang
sangat penting. Efikasi mendorong seseorang untuk memahami secara mendalami
atas situasi yang dapat menerangkan tentang mengapa seseorang ada yang mengalami
kegagalan dan atau yang berhasil.
Terdapat lima faktor yang dapat mempengaruhi efikasi individu
sebagaimana dikemukanan oleh Bandura dalam Alwisol (2006). Kelima faktor ini
disajikan dalam Tabel 1.
1) Pengalaman Performasi (Perfomance
Accomplishment )
Pengalaman menguasai suatu prestasi
yang pernah dicapai pada masa yang telah lalu sebagai sumber informasi masa
lalu menjadi pengubah efikasi yang paling kuat pengaruhnya. Prestasi masa lalu
yang bagus akan meningkatkan ekpektasi efikasi, sedangkan kegagalan masa lalu
akan menurunkan efikasi individu.
TABEL.
STRATEGI PENGUBAHAN SUMBER EKSPEKTASI
EFIKASI
Sumber
|
Cara Induksi
|
|
Pengalaman
Performasi
(PPe)
|
Participan
modeling
|
Meniru mode yang berprestasi
|
Performance
desentization
|
Menghilangkan pengaruh buruk prestasi masa lalu
|
|
Performance
exposure
|
Menonjolkan keberhasilan yang pernah diraih
|
|
Self-instrukted
performance
|
Melatih diri untuk melakukan yang terbaik
|
|
Pengalaman vikarius (PVi)
|
Live modeling
|
Mengamati model yang nyata
|
Symbolic
modeling
|
Mengamati model simbolik, film, komik, ceritera
|
|
Persuasi Verbal
(PVe)
|
Suggestion
|
Mempengaruhi dengan kata-kata berdasar kepercayaan
|
Exhortation
|
Nasihat, peringatan yang mendesak
|
|
Self-instruktion
|
Memerintah diri sendiri
|
|
Interpretive
|
Interpretasi baru memperbaiki interpretasi lama yang salah
|
|
Pembangkitan Emosi
(PEm)
|
Attribution
|
Mengubah atribusi, penanggung jawab suatu
|
Relaxation
biofeedback
|
Relaksasi
|
|
Symbolic
desensitization
|
Menghilangkan sikap emosional dengan modeling simbolik
|
|
Symbolic
exposure
|
Memunculkan emosi secara simbolik
|
Pengalaman performasi (Performance
accomplishment) merupakan sumber pengharapan yang utama karena didasarkan pada
pengalaman individu ketika berhasil mengerjakan suatu hal dengan baik. Bandura
(1997) menyebutkan hal ini dengan nama lain, yaitu enactive attaintment atau
sumber informasi yang paling berpengaruh karena memiliki dasar pada
keberhasilan pengalaman pribadi dalam menyelesaikan suatu tugas dengan baik.
Keberhasilan akan menumbuhkan pengharapan dan kegagalan yang terjadi
berulangkali melemahkan pengharapan.
Bandura (1997) menyebutkan hal ini sebagai mastery experience
di mana keberhasilan sebelumnya dimasa lalu akan mempengaruhi keberhasilan
dan pengerjaan tugas-tugas berikutnya.
2) Pengalaman
Vikarius (Vicorious Experiences)
Pengalaman vikarius sebagaimana
terdapat dalam Alwilson (2006:346) diperoleh melalui model sosial. Efikasi akan
meningkat ketika individu mengamati keberhasilan orang lain, sebaliknya efikasi
akan menurun jika mengamati orang yang
kemampuannya hampir sama dengan
dirinya namun ternyata gagal. Jika pigur yang diamati berbeda dengan dirinya,
maka akan memiliki kecenderungan pengaruh vikarius tidak besar. Hal ini
disebabkan karena kadar kepercayaannya terhadap diri yang diamati tidak lah
sama.
Dengan demikian pengalaman vikarius adalah pengalaman
yang didapat ketika individu melihat orang lain berhasil menyelesaikan suatu
tugas dengan baik. Pengharapan dapat tumbuh pada diri individu yang memiliki
posisi sebagai pengamat pada saat dirinya menyaksikan orang lain mampu
melakukan aktivitas dalam situasi yang tertekan tanpa akibat yang merugikan.
Pengamatan ini akan menumbuhkan keyakinan bahwa suatu saat dirinya akan mampu
dan juga berhasil jika berusaha secara intensif dan tekun. Kemudian akan timbul
sugesti bahwa jika orang lain dapat melakukan dengan baik maka dirinya juga
akan mampu atau paling tidak ada sedikit perbaikan dan peningkatan yang dapat
dilakukan dalam kinerjanya.
3) Persuasi
Verbal (Verbal Persuasion)
Menurut Bandura (1997), verbal persuasion ini digunakan
untuk meyakinkan seseorang bahwa dirinya memiliki kemampuan. Individu yang
dapat diyakinkan secara verbal oleh lingkungannya akan mengeluarkan usaha yang
besar dibandingkan jika dirinya memiliki keraguan akan kemampuan yang
dimilikinya. Bandura menekankan bahwa individu yang diarahkan dengan saran,
nasihat dan bimbingan dapat meningkatkan kapasitasnya tentang
kemampuan-kemampuan yang dimilikinya sehingga individu tersebut mencapai tujuan
yang diinginkan.
4) Emotional Arousal
Emotional aurosal adalah muncul dan naiknya emosi seseorang ketika individu berada
dalam situasi yang tertekan. Saat berada dalam situasi yang tertekan, kondisi
emosional dapat mempengaruhi pengharapan individu. Rasa takut dan cemas
mengalami kegagalan membuat individu mnjadi tidak yakin dalam menghadapi
tugas-tugas berikutnya (Bandura, 1997).
Dalam beberapa hal, individu menyandarkan dirinya pada gejolak
fisiologis dalam menilai kecemasan dan kepekaannya terhadap stres. Gejolak yang
berlebihan biasanya akan melumpuhkan kinerja. Individu jelas berharap akan
lebih berhasil jika mengalami gejolak fisiologis ringan daripada harus
menderita tekanan, goncangan dan kegelisahan yang mendalam.
5) Physical or Affective Atatus
Stres dan
kecemasan memiliki akibat negatif terhadap efikasi. Jika individu tidak sedang mengalami gejolak perasaan
maka dirinya akan mampu berpikir relative tenang, jernih dan terarah. Hal ini
berguna agar dapat melihat apakah tujuan yang akan dicapai sulit, sedang atau
mudah. Pada akhirnya efikasi yang
akan muncul akan lebih sesuai dengan kenyataan yang sedang dihadapi oleh
individu yang bersangkutan.
d. Komponen Efikasi
Bandura (1997) membagi efikasi
menjadi tiga komponen. Yaitu meliputi komponen tingkat (level) yang disebut Magnitude komponen ini menunjukan keyakinan
individu terhadap kemampuannya untuk mengatasi masalah dengan derajat kesulitan
yang berbeda-beda, komponen generalisasi (generality), komponen
tersebut menunjukan keyakinan individu
terhadap persepsi kompetensi individu pada tingkat pencapaian
keberhasilannya dalam mengatasi tugas-tugas dalam kondisi tertentu, komponen
yang ketiga yaitu kekuatan (Strength) yaitu tingkat kuat atau lemahnya keyakinan
individu mengenai kompetensi diri yang dipersepsikannya.
Guna pemahaman yang lebih lengkap
ketiga komponen efikasi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Komponen magnitude atau komponen tingkat/level
Dimensi ini adalah dimensi yang berhubungan dengan tingkat
kesulitan tugas. Jika seseorang dihadapkan pada tugas-tugas yang disusun
menurut tingkat kesulitan yang ada maka pengharapannya akan jatuh pada
tugas-tugas yang sifatnya mudah, sedang dan sulit. Hal ini akan disesuaikan
dengan batas kemampuan yang dirasakan untuk memenuhi tuntutan perilaku yang
dibutuhkan bagi masing-masing tingkat. Orang yang memiliki efikasi tinggi cenderung akan memilih
mengerjakan tugas-tugas yang sifatnya sulit dibandingkan yang sifatnya mudah.
2) Komponen generality
Generality menjelaskan keyakinan individu untuk menyelesaikan tugas-tugas
tertentu dengan tuntas dan baik. Di sini setiap individu memiliki keyakinan
yang berbeda-beda sesuai dengan tugas-tugas yang berbeda pula. Ruang lingkup
tugas-tugas yang dilakukan bisa berbeda dan tergantung dari persamaan derajat
aktivitas, kemampuan yang diekspresikan dalam hal tingkah laku, pemikiran dan
emosi, kualitas dari situasi yang ditampilkan dan sifat individu dalam tingkah
laku secara langsung ketika menyelesaikan tugas.
Kemampuan individu dalam menyelesaikan tugas akan mempengaruhi efikasi yang dimiliki. Semakin tinggi
kemampuan yang dimiliki maka akan semakin tinggi efikasi yang ada, begitu
pula sebaliknya. Hal ini bisa terjadi karena semakin tinggi kemampuan yang
dimiliki maka keyakinan untuk menyelesaikan tugas dengan baik dan tuntas juga
semakin tinggi.
3) Komponen strength
Komponen ini berhubungan dengan derajat kemantapan individu
terhadap keyakinannya. Seseorang dengan efikasi
yang tinggi sangat yakin dengan kemampuan dirinya. Mereka tidak pernah
frustasi dalam menghadapi masalah yang sulit dan lebih mampu menyelesaikan
masalah dengan berbagai macam rintangan. Sebaliknya, seseorang dengan tingkatan
efikasi yang rendah merasa bahwa dirinya
memiliki kemampuan yang lemah dan akan mudah terguncang apabila menghadapi
rintangan dalam melakukan tugasnya.
Komponen ini
juga berkaitan langsung dengan komponen magnitude di mana semakin tinggi
taraf kesulitan tugas yang dihadapi maka akan semakin tinggi keyakinan yang
dirasakan untuk menyelesaikannya.
Efikasi dalam
diri individu dapat terjadi tinggi atau dapat juga rendah, jika efikasi tinggi
maka akan memberikan dampak yang lebih baik terhadap dorongan individu untuk
mencapai tujuan yang ia harapkan, sedangkan jika efikasi rendah pada diri
individu, maka akan berdampak terhadap menurunnya dorongan untuk mencapai
tujuan yang diharapkan. Dengan asumsi tersebut, dipandang perlu untuk
meningkatkan efikasi, Santrock (1999) menyebutkan empat tahap meningkatkan efikasi yang dimiliki. Keempat tahap
tersebut adalah: (a) Memilih satu tujuan yang diharapkan dapat dicapai di mana
tujuan yang dipilih tentu saja yang sifatnya realistis untuk dicapai. (b) Memisahkan pengalaman masa lalu dengan rencana
yang sedang dilakukan. Hal ini penting untuk dilakukan agar pengaruh kegagalan
masa lalu tidak tercampur baur dengan rencana yang sedang dilakukan. (c) Tetap
berusaha mempertahankan prestasi yang
baik dengan cara berusaha tetap fokus dengan keberhasilan yang telah dicapai.
(d) Membuat daftar urutan situasi atau kegiatan yang diharapkan dapat diatasi
atau dapat dilakukan mulai dari yang paling mudah sampai ke yang paling sulit.
Hal ini penting untuk mengingkatkan efikasi
secara bertahap dalam pengerjaan hal-hal yang sulit.
DAFTAR
PUSTAKA
Alwilsol, (2006).
Psikologi Kepribadian. Malang. UPT
Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang.
Azwar, S. 2005. Dasar-Dasar
Psikometri. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bandura, A. (1997).
Self-efficacy. The Exercise of Control. New York: Freeman.
Bergeron, L.M.,
& Romano, J.L.
(1994). The relationships among
career decision making self-efficacy, educational indecision, vocational
indecision, and gender. Journal
of College Student Development, 35, 19-24.
Betz, N.E.,
& Luzzo, D.A.
(1996). Career assessment and the career
decision-zaking self-efficacy
scale. Journal of
Career Assessment, 4, 413-428.
Betz, N.E.,
Klein, K., &
Taylor, K. (1996). Evaluation of
a short form of
the Career Decision-Making Self-efficacy
Scale. Journal of Career Assessment, 4, 47-57.
Betz, N.E., &
Taylor, K.M. (2006). Manual for
the Career Decision
Self-fficcay Scale and
CDSE-Short Form. Ohio:
The Ohio State University.
Carkhuff. R (1985)
The Art of Helping, Massachusetts.
Human Resource Development Press.
Creed, P.,
Patton, W., & Prideaux,
L. (2006). Causal relationship
between career indecision and
career decision-making
self-efficacy. Journal of
Career Development, 33(1), 47-65.
Departemen Agama RI. 2007. Syamil Al Qur’an. Jakarta.
Dillar, JM (1985)
Life Long Career Planing. Ohio.
Charles E. Merril Publishing. Co.
Heppner, Paul, at
al. Research Design in Counseling. Third
edition. Thomson brooks/cole.
Lindzey. H (1985)
Introduction Theories of Personality,
New York. John Willey & Sons.
Mau, W.
(2000). Cultural differences
in career decision-making styles
and self-efficacy. Journal of
Vocational Behavior, 57, 365-378.
Moesono, A.
(2001). ”Decision making” memilih studi
psikologi pada mahasiswa baru
Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia. Jurnal Psikologi Sosial, IX(VII), 79-87.
Nauta, M.M &
Kahn, J.H. (2007). Identity status,
consistency and
differentiation of interests,
and career decision self-efficacy. Journal of Career Assessment, 15, 55-65.
Oettingen, G.
& Zosuls, K.M.
(2006). Culture and
self-efficacy in dolescents. In F. Pajares.,
& T. Urdan (Eds.).
Self-efficacy belief
of adolescents
(pp. 245-265). Connecticut: Information
Age Publishing, Inc.
Osipow, Samuel
(1983). Theories of Career Development,
New Jersey. Prentice Hall.
Pope, Mark (1999).
Applications of group career counseling techniques in Asian cultures. Journal of Multicultural Counseling &
Development; Vol. 27, 13-18.
Sadiyah, Yies. 1997. Bimbingan dan Konseling di Sekolah. IAIN SGD Bandung
Santrock,
J.W. (1999). Life-span Development (Seventh Edition). New York:
McGraw-Hill, Inc.
Santrock,
J.W. 2003. Adolescence Perkembangan Remaja. Jakarta: Erlangga.
Savickas,
M. L. 2001. A Developmental Perspective on Vocational Behavior: Career Pattern,
Salience, and Themes. International Journal for Educational and Vocational
Guidance, 1, 49-57.
Schmitt-Rodermund,
E., & Vondracek, F. W. (1999). Breadth
of interests, exploration, and
identity development in adolescence.
Journal of Vocational
Behavior, 55, 298-317.
Schulenberg, J.E.
(1988). Factorial invariance of
career indecision dimensions across
junior high and high school males and
females. Journal of Vocational
Behavior, 33, 63-81.
Soemanto.
(1998). Kepemimpinan dan Supervisi Pendidikan. Jakarta: Bina Aksara.
Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Pendidikan. Alfabeta : Bandung.
Sukardi (1989) Bimbingan Karier di Sekolah-sekolah.
Jakarta Timur. Ghalia Indonesia.
Taylor, K.M.,
& Betz, N.E. (1983). Application of self-efficacy
theory to the understanding and
treatment of career indecision. Journal of Vocational Behavior,
22, 63-81.
Taylor, K.M.,
& Popma, J. (1990). An
examination of the relationship
among career decision-making
self-efficacy, career salience, locus
of control, and vocational
indecision. Journal
of Vocational Behavior, 37, 17-31.
Tohirin. 2007. Bimbingan dan Konseling di Madrasah. Rajagrafindo
Persada, Jakarta.
Winkel, W.S.,
& Hastuti, S. 2004. Bimbingan Karier di Institusi Pendidikan.
Jakarta: Media Abadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar