Pasal 65
(1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan
melalui perjanjian pem borongan
pekerjaan yang dibuat
secara tertulis
(2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) harus
memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut :
a.
dilakukan
secara terpisah dari
kegiatan utama;
b. dilakukan
dengan perintah langsung
atau tidak langsung
dari pemberi pekerjaan;
c.
merupakan
kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
d. tidak
menghambat proses produksi
secara langsung.
(2) Perusahaan lain
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) harus
berbentuk badan hukum.
(3) Perlindungan kerja
dan syarat-syarat
kerja bagi
pekerja/buruh pada perusahaan
lain
sebagaimana dimak-sud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan
syarat-syarat kerja
pada perusahaan
pemberi pekerjaan
atau sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(4) Perubahan
dan/atau penambahan
syarat-syarat sebagaimana
dimaksud dalam
ayat (2)
diatur lebih lanjut
dengan Keputusan Menteri.
(5) Hubungan
kerja dalam
pelaksanaan pekerjaan sebagaimana
dimaksud dalam
ayat (1)
diatur dalam perjanjian
kerja
secara tertulis
antara perusahaan
lain dan
pekerja/buruh yang dipekerjakannya.
(6) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat didasarkan atas perjanjian
kerja waktu
tidak tertentu
atau perjanjian
kerja waktu
tertentu apabila
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
59.
(7) Dalam
hal ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2)
dan ayat
(3) tidak
terpenuhi, maka demi
hukum status
hubungan kerja
pekerja/buruh dengan perusahaan
penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan.
(8) Dalam
hal hubungan
kerja beralih
ke perusahaan
pemberi pekerjaan
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (8), maka hubungan kerja pekerja/buruh dengan pemberi
pekerjaan sesuai dengan hubungan
kerja sebagaimana dimaksud dalam
ayat (7).
Pasal 66
(1) Pekerja/buruh
dari perusahaan
penyedia jasa
pekerja/buruh tidak boleh
digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang
atau
kegiatan yang tidak
berhubungan langsung dengan
proses produksi.
(2) Penyedia
jasa pekerja/buruh
untuk kegiatan
jasa penunjang
atau kegiatan
yang tidak
berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut
:
a. adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
b.
perjanjian kerja yang
berlaku dalam
hubungan kerja
sebagaimana dimaksud pada
huruf a adalah
perjanjian kerja untuk
waktu tertentu
yang memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal
59 dan/atau
perjanjian kerja waktu
tidak tertentu yang
dibuat secara tertulis
dan ditandatangani oleh
kedua belah pihak;
c. perlindungan
upah dan
kesejahteraan, syarat-syarat kerja,
serta perselisihan
yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh; dan
d. perjanjian
antara perusahaan
pengguna jasa
pekerja/buruh dan perusahaan
lain yang
bertindak
sebagai
perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh dibuat secara
tertulis dan wajib memuat pasal-pasal
sebagaimana dimaksud dalam undang-
undang ini.
(3) Penyedia
jasa pekerja/buruh
merupakan bentuk usaha
yang berbadan
hukum dan
memiliki izin
dari instansi yang
bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan.
(4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf b,
dan
huruf
d
serta ayat
(3) tidak
terpenuhi, maka demi
hukum status
hubungan kerja
antara pekerja/buruh
dan perusahaan
penyedia jasa
pekerja/buruh beralih menjadi
hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi
pekerjaan.
BAB X PERLINDUNGAN, PENGUPAHAN,
DAN KESEJAHTERAAN
Bagian Kesatu
Perlindungan
Paragraf 1
Penyandang Cacat
Pasal 67
(1) Pengusaha
yang mempekerjakan
tenaga kerja
penyandang cacat wajib
memberikan perlindungan sesuai dengan
jenis dan derajat
kecacatannya.
(2) Pemberian
perlindungan sebagaimana dimaksud
dalam ayat
(1) dilaksanakan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Paragraf 2 Anak
Pengusaha dilarang mempekerjakan anak.
Pasal 68
Pasal 69
(1) Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 68
dapat dikecualikan
bagi anak yang
berumur antara 13 (tiga belas)
tahun sampai
dengan 15
(lima belas)
tahun untuk
melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik,
mental, dan sosial.
(2) Pengusaha
yang mempekerjakan
anak pada
pekerjaan ringan
sebagai-mana dimaksud
dalam ayat (1) harus
memenuhi persyaratan :
a. izin tertulis
dari orang tua atau wali;
b. perjanjian kerja
antara pengusaha dengan
orang tua atau
wali;
c. waktu kerja
maksimum 3 (tiga)
jam;
d. dilakukan pada
siang hari dan
tidak mengganggu waktu
sekolah;
e. keselamatan dan
kesehatan kerja;
f.
adanya
hubungan kerja yang
jelas; dan
g. menerima upah
sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, b, f, dan g dikecualikan bagi anak yang bekerja
pada usaha keluarganya.
Pasal 70
(1) Anak
dapat melakukan
pekerjaan di tempat
kerja yang
merupakan bagian dari
kurikulum pendidikan atau pelatihan yang
disahkan oleh pejabat
yang berwenang.
(2) Anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit berumur 14 (empat belas)
tahun.
(3) Pekerjaan
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dapat
dilakukan dengan syarat
:
a. diberi petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan serta bimbingan dan
pengawasan dalam melaksanakan pekerjaan; dan
b. diberi
perlindungan keselamatan dan
kesehatan kerja.
Pasal 71
(1) Anak dapat
melakukan pekerjaan untuk
mengembangkan bakat dan
minatnya.
(2) Pengusaha
yang mempekerjakan
anak sebagaimana
dimaksud dalam
ayat (1)
wajib
memenuhi syarat :
a. di bawah
pengawasan langsung dari
orang tua atau
wali;
b. waktu
kerja paling lama 3 (tiga)
jam sehari; dan
c. kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu perkembangan fisik, mental,
sosial, dan waktu sekolah.
(3) Ketentuan mengenai anak yang bekerja untuk mengembangkan bakat dan minat
sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dan ayat
(2) diatur dengan Keputusan
Menteri.
Pasal 72
Dalam hal
anak dipekerjakan
bersama-sama
dengan pekerja/buruh
dewasa, maka
tempat
kerja anak
harus dipisahkan dari
tempat kerja pekerja/buruh dewasa.
Pasal 73
Anak dianggap bekerja bilamana berada di tempat kerja, kecuali dapat dibuktikan
sebaliknya.
Pasal 74
(1) Siapapun
dilarang mempekerjakan
dan melibatkan
anak pada
pekerjaan-pekerjaan
yang terburuk.
(2) Pekerjaan-pekerjaan
yang terburuk yang dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
a. segala
pekerjaan dalam bentuk
perbudakan atau sejenisnya;
b. segala pekerjaan
yang memanfaatkan,
menyediakan, atau menawarkan
anak untuk
pelacuran, produksi
pornografi, pertunjukan porno,
atau perjudian;
c.
segala pekerjaan
yang memanfaatkan,
menyediakan, atau melibatkan
anak untuk
produksi dan perdagangan minuman
keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif
lainnya; dan/atau
d. semua
pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau
moral anak.
(3) Jenis-jenis pekerjaaan
yang membahayakan
kesehatan, keselamatan, atau
moral anak
sebagaimana di-maksud dalam ayat
(2) huruf d
ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Pasal 75
(1) Pemerintah berkewajiban melakukan upaya penanggulangan anak yang bekerja di luar
hubungan kerja.
(2) Upaya penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Paragraf 3
Perempuan
Pasal 76
(1) Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun dilarang
dipekerjakan antara pukul 23.00
sampai dengan pukul
07.00.
(2) Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut
keterangan
dokter berbahaya
bagi kesehatan
dan keselamatan
kandungannya maupun dirinya apabila
bekerja antara pukul
23.00 sampai dengan
pukul 07.00.
(3) Pengusaha
yang mempekerjakan
pekerja/buruh perempuan antara
pukul 23.00
sampai dengan pukul
07.00 wajib :
a. memberikan makanan
dan minuman bergizi;
dan
b. menjaga
kesusilaan dan keamanan
selama di tempat
kerja.
(4) Pengusaha
wajib menyediakan
angkutan antar
jemput bagi
pekerja/buruh perempuan
yang berangkat
dan pulang bekerja
antara pukul 23.00
sampai dengan pukul
05.00.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan
Keputusan Menteri.
Paragraf 4
Waktu Kerja
Pasal 77
(1) Setiap pengusaha
wajib melaksanakan ketentuan
waktu kerja. (2) Waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
a. 7 (tujuh)
jam 1 (satu)
hari dan
40 (empat
puluh) jam
1
(satu) minggu
untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu;
atau
b.
8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari
kerja dalam 1 (satu) minggu.
(3) Ketentuan
waktu kerja
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2)
tidak berlaku
bagi sektor usaha
atau peker-jaan tertentu.
(4) Ketentuan mengenai waktu kerja pada sektor usaha atau pekerjaan tertentu
sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3)
diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 78
(1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2)
harus memenuhi syarat :
a. ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan
b. waktu kerja
lembur hanya
dapat dilakukan
paling banyak
3
(tiga) jam
dalam 1
(satu) hari dan 14 (empat
belas) jam dalam 1 (satu)
minggu.
(2) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1)
wajib membayar upah
kerja lembur.
(3) Ketentuan
waktu kerja
lembur sebagaimana
dimaksud dalam
ayat (1) huruf
b
tidak berlaku bagi
sektor usaha atau
pekerjaan tertentu.
(4) Ketentuan mengenai waktu kerja lembur dan upah kerja lembur sebagaimana
dimaksud dalam
ayat (2) dan
ayat (3) diatur
dengan Keputusan Menteri.
Pasal 79
(1) Pengusaha wajib
memberi waktu istirahat dan cuti
kepada pekerja/buruh.
(2) Waktu istirahat
dan cuti sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), meliputi :
a. istirahat antara jam kerja, sekurang kurangnya setengah jam setelah bekerja selama
4 (empat) jam
terus menerus dan
waktu istirahat tersebut
tidak termasuk jam kerja;
b.
istirahat
mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2
(dua) hari untuk
5 (lima) hari
kerja dalam 1
(satu) minggu;
c. cuti
tahunan, sekurang
kurangnya 12 (dua
belas) hari
kerja setelah
pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas)
bulan secara terus
menerus; dan
d. istirahat panjang
sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan
dan dilaksanakan
pada tahun
ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah
bekerja selama 6 (enam) tahun secara
terus-menerus pada perusahaan yang sama
dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat
tahunannya dalam 2 (dua)
tahun berjalan
dan selanjutnya
berlaku untuk
setiap kelipatan masa
kerja 6 (enam)
tahun.
(3) Pelaksanaan
waktu
istirahat tahunan
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2)
huruf c diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
(4) Hak
istirahat panjang
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2)
huruf d hanya
berlaku bagi pekerja/buruh yang bekerja
pada perusahaan tertentu.
(5) Perusahaan
tertentu sebagaimana
dimaksud dalam
ayat (4)
diatur dengan
Keputusan
Menteri.
Pasal 80
Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/ buruh untuk
melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya.
Pasal 81
(1) Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua
pada waktu haid.
(2) Pelaksanaan
ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat
(1) diatur
dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama.
Pasal 82
(1) Pekerja/buruh
perempuan berhak memperoleh
istirahat selama 1,5
(satu setengah)
bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah
melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau
bidan.
(2) Pekerja/buruh
perempuan yang
mengalami keguguran
kandungan berhak
memperoleh istirahat 1,5
(satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter
kandungan atau bidan.
Pasal 83
Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan
sepatutnya untuk
menyusui anaknya jika hal itu
harus dilakukan selama
waktu kerja.
Pasal 84
Setiap
pekerja/buruh yang menggunakan hak waktu istirahat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 79
ayat (2) huruf b, c, dan d, Pasal 80, dan Pasal 82 berhak mendapat
upah penuh.
Pasal 85
(1) Pekerja/buruh tidak
wajib bekerja pada
hari-hari libur
resmi.
(2) Pengusaha
dapat mempekerjakan
pekerja/buruh untuk bekerja
pada hari-hari libur
resmi apabila jenis
dan
sifat pekerjaan
tersebut
harus dilaksanakan
atau dijalankan
secara terus menerus atau pada keadaan lain berdasarkan kesepakatan antara pekerja/buruh dengan pengusaha.
(3) Pengusaha
yang mempekerjakan
pekerja/buruh yang melakukan
pekerjaan pada hari
libur resmi
sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) wajib membayar
upah kerja lembur.
(4) Ketentuan
mengenai jenis
dan sifat
pekerjaan sebagaimana
dimaksud dalam
ayat (2)
diatur dengan
Keputusan Menteri.
Paragraf 5
Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Pasal 86
(1) Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas :
a. keselamatan dan
kesehatan kerja;
b. moral dan kesusilaan; dan
c. perlakuan yang
sesuai dengan harkat
dan martabat manusia
serta nilai-nilai
agama.
(2) Untuk
melindungi keselamatan pekerja/buruh
guna mewujudkan
produktivitas kerja yang optimal
diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja.
(3) Perlindungan
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1)
dan ayat
(2) dilaksanakan
sesuai
dengan peraturan perundang- undangan
yang berlaku.
Pasal 87
(1) Setiap
perusahaan wajib menerapkan
sistem manajemen
keselamatan dan kesehatan
kerja yang terintegrasi dengan
sistem manajemen perusahaan.
(2) Ketentuan
mengenai penerapan
sistem manajemen
keselamatan dan kesehatan
kerja sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1)
diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian Kedua
Pengupahan.
Pasal 88
(1) Setiap
pekerja/buruh berhak memperoleh
penghasilan yang memenuhi
penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan.
(2) Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang
melindungi pekerja/buruh.
(3) Kebijakan
pengupahan yang melindungi
pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) meliputi :
a. upah minimum;
b. upah kerja lembur;
c. upah tidak
masuk kerja karena
berhalangan;
d. upah tidak
masuk kerja karena
melakukan kegiatan lain
di luar pekerjaannya;
e. upah karena
menjalankan hak waktu
istirahat kerjanya;
f. bentuk dan cara pembayaran upah;
g. denda dan
potongan upah;
h. hal-hal yang dapat
diperhitungkan dengan upah;
i. struktur dan
skala pengupahan yang
proporsional;
j. upah untuk
pembayaran pesangon; dan
k. upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
(4) Pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a berdasarkan kebutuhan
hidup layak
dan dengan
mem-perhatikan
produktivitas dan
pertumbuhan ekonomi.
Pasal 89
(1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (3) huruf a dapat
terdiri atas:
a. upah minimum
berdasarkan wilayah provinsi
atau kabupaten/kota;
b. upah
minimum berdasarkan sektor
pada wilayah provinsi
atau kabupaten/kota.
(2) Upah
minimum sebagaimana
dimaksud dalam
ayat (1)
diarahkan kepada
pencapaian kebutuhan hidup layak.
(3) Upah
minimum sebagaimana
dimaksud dalam
ayat (1)
ditetapkan oleh Gubernur
dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau
Bupati/Walikota.
(4) Komponen serta pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan hidup layak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2)
diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 90
(1) Pengusaha
dilarang membayar
upah lebih
rendah dari
upah minimum
sebagaimana
dimaksud dalam
Pasal 89.
(2) Bagi
pengusaha yang
tidak mampu
membayar upah
minimum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 89
dapat dilakukan penangguhan.
(3) Tata cara penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan
Keputusan Menteri.
Pasal 91
(1) Pengaturan pengupahan yang ditetapkan
atas kesepakatan antara pengusaha dan
pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan
pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(2) Dalam
hal kesepakatan
sebagaimana dimaksud dalam
ayat
(1) lebih
rendah atau
bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan, kesepakatan
tersebut batal
demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 92
(1) Pengusaha menyusun struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan, jabatan,
masa kerja, pendidikan, dan kompetensi.
(2) Pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan
kemampuan perusahaan dan
produktivitas.
(3) Ketentuan
mengenai struktur
dan skala
upah sebagaimana
dimaksud dalam
ayat (1)
diatur dengan
Keputusan Menteri.
Pasal 93
(1) Upah tidak
dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku, dan pengusaha wajib
membayar upah apabila :
a. pekerja/buruh sakit sehingga
tidak dapat melakukan pekerjaan;
b. pekerja/buruh
perempuan yang sakit
pada hari
pertama dan
kedua masa
haidnya sehingga tidak
dapat melakukan pekerjaan;
c. pekerja/buruh
tidak masuk
bekerja karena
pekerja/buruh menikah, menikahkan,
mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau keguguran
kandungan, suami atau
isteri atau
anak atau
menantu atau
orang tua
atau mertua
atau
anggota keluarga dalam
satu rumah meninggal
dunia;
d. pekerja/buruh tidak dapat
melakukan pekerjaannya
karena sedang
menjalankan
kewajiban terhadap
negara;
e. pekerja/buruh
tidak dapat
melakukan pekerjaannya
karena menjalan-kan ibadah
yang diperintahkan agamanya;
f. pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi
pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun
halangan yang
seharusnya dapat dihindari pengusaha;
g. pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat;
h. pekerja/buruh
melaksanakan tugas serikat
pekerja/serikat buruh atas
persetujuan pengusaha; dan
i. pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan
dari perusahaan.
(3) Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang sakit sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) huruf a
sebagai berikut :
a. untuk 4
(empat) bulan pertama,
dibayar 100% (seratus
perseratus) dari upah;
b. untuk 4 (empat)
bulan kedua, dibayar
75% (tujuh puluh
lima perseratus) dari
upah;
c. untuk 4
(empat) bulan ketiga,
dibayar 50% (lima
puluh perseratus) dari
upah; dan
d. untuk bulan selanjutnya dibayar 25% (dua puluh lima perseratus) dari upah
sebelum pemutusan hubungan kerja
dilakukan oleh pengusaha.
(4) Upah
yang dibayarkan
kepada pekerja/buruh yang
tidak masuk
bekerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2)
huruf c sebagai berikut :
a.
pekerja/buruh menikah, dibayar untuk
selama 3 (tiga)
hari;
b. menikahkan anaknya, dibayar
untuk selama 2 (dua) hari;
c.
mengkhitankan anaknya, dibayar untuk
selama 2 (dua)
hari;
d. membaptiskan anaknya, dibayar
untuk selama 2 (dua) hari;
e.
isteri
melahirkan atau keguguran
kandungan, dibayar untuk
selama 2 (dua)
hari;
f. suami/isteri,
orang tua/mertua
atau anak
atau menantu
meninggal dunia, dibayar
untuk selama
2 (dua) hari;
dan
g. anggota
keluarga dalam
satu rumah
meninggal dunia, dibayar
untuk selama
1
(satu) hari.
(5) Pengaturan
pelaksanaan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam
ayat (2)
ditetapkan dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama.
Pasal 94
Dalam hal
komponen upah terdiri
dari upah
pokok dan
tunjangan tetap
maka besarnya
upah pokok sedikit-dikitnya
75 % (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah upah pokok
dan
tunjangan tetap.
Pasal 95
(1) Pelanggaran
yang dilakukan oleh
pekerja/buruh karena kesengajaan
atau kelalaiannya
dapat dikenakan denda.
(2) Pengusaha
yang karena
kesengajaan atau kelalaiannya
mengakibatkan keterlambatan
pembayaran
upah, dikenakan
denda sesuai
dengan persentase
tertentu dari
upah pekerja/buruh.
(3) Pemerintah mengatur pengenaan denda kepada pengusaha dan/atau pekerja/buruh,
dalam pembayaran upah.
(4) Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku,
maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh
merupakan utang yang didahulukan pem-bayarannya.
Pasal 96
Tuntutan pembayaran
upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari
hubungan kerja menjadi
kadaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sejak timbulnya hak.
Pasal 97
Ketentuan mengenai
penghasilan yang layak,
kebijakan pengupahan, kebutuhan
hidup
layak,
dan perlindungan
pengupahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal
88, penetapan
upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89, dan pengenaan denda sebagaimana
dimaksud dalam Pasal
95 ayat
(1), ayat
(2) dan
ayat (3)
diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 98
(1) Untuk memberikan saran, pertimbangan, dan merumuskan kebijakan pengupahan
yang akan ditetapkan
oleh pemerintah,
serta untuk
pengembangan sistem pengupahan
nasional dibentuk Dewan
Pengupahan Nasional, Provinsi,
dan Kabupaten/Kota.
(2) Keanggotaan
Dewan Pengupahan
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1)
terdiri dari
unsur pemerintah, organisasi pengusaha, serikat pekerja/-serikat buruh, perguruan
tinggi, dan
pakar.
(3) Keanggotaan
Dewan
Pengupahan tingkat Nasional
diangkat dan
diberhentikan oleh
Presiden, sedangkan keanggotaan Dewan Pengupahan Provinsi, Kabupaten/Kota
diangkat dan
diberhentikan oleh Gubenur/
Bupati/Walikota
(4) Ketentuan mengenai tata cara pembentukan, komposisi keanggotaan, tata cara
pengangkatan dan pemberhentian
keanggotaan, serta tugas
dan tata
kerja Dewan
Pengupahan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1)
dan ayat
(2), diatur
dengan Keputusan Presiden.
Bagian Ketiga
Kesejahteraan
Pasal 99
(1) Setiap
pekerja/buruh dan keluarganya
berhak untuk memperoleh jaminan sosial tenaga
kerja.
(2) Jaminan
sosial tenaga
kerja sebagaimana
dimaksud dalam
ayat (1),
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal 100
(1) Untuk
meningkatkan kesejahteraan bagi
pekerja/buruh dan keluarganya,
pengusaha
wajib menyediakan fasilitas kesejahteraan.
(2) Penyediaan fasilitas kesejahteraan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan pekerja/buruh dan ukuran kemampuan
perusahaan.
(3) Ketentuan
mengenai jenis dan
kriteria fasilitas
kesejahteraan sesuai dengan
kebutuhan
pekerja/buruh
dan ukuran
kemampuan perusahaan sebagaimana
dimaksud dalam
ayat
(1) dan ayat (2),
diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 101
(1) Untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh, dibentuk koperasi pekerja/buruh
dan usaha-usaha produktif di perusahaan.
(2) Pemerintah,
pengusaha, dan pekerja/buruh
atau serikat
pekerja/serikat buruh berupaya
menumbuhkembangkan
koperasi pekerja/buruh,
dan mengembangkan
usaha produktif
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1).
(3) Pembentukan
koperasi sebagaimana
dimaksud dalam
ayat (1),
dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(4) Upaya-upaya untuk menumbuhkembangkan koperasi pekerja/buruh sebagaimana
dimaksud dalam
ayat (2), diatur
dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB XI
HUBUNGAN INDUSTRIAL Bagian Kesatu
Umum
Pasal 102
(1) Dalam
melaksanakan hubungan industrial,
pemerintah mempunyai fungsi
menetapkan
kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan, dan melakukan
penindakan terhadap
pelanggaran peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
(2) Dalam
melaksanakan hubungan industrial,
pekerja/buruh dan serikat
pekerja/serikat buruhnya mempunyai fungsi menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara demokratis, mengembangkan keterampilan, dan keahliannya serta ikut memajukan
perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya.
(3) Dalam melaksanakan hubungan industrial, pengusaha dan organisasi pengusahanya
mempunyai fungsi menciptakan kemitraan, mengembang-kan usaha, memperluas lapangan kerja, dan memberikan kesejahteraan pekerja/buruh secara terbuka,
demokratis, dan berkeadilan.
Pasal 103
Hubungan Industrial dilaksanakan melalui sarana
:
a.
serikat
pekerja/serikat buruh;
b. organisasi pengusaha;
c.
lembaga
kerja sama bipartit;
d. embaga kerja sama
tripartit;
e.
peraturan
perusahaan;
f. perjanjian kerja
bersama;
g. peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan; dan
h.
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial.
Bagian Kedua
Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Pasal 104
(1) Setiap
pekerja/buruh berhak membentuk
dan menjadi
anggota serikat
pekerja/serikat buruh.
(2) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102, serikat
pekerja/serikat buruh ber-hak menghimpun dan mengelola keuangan serta mempertanggungjawabkan keuangan
organisasi termasuk dana
mogok.
(3) Besarnya
dan tata
cara pemungutan
dana mogok
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) diatur dalam ang-garan dasar dan/atau anggaran rumah tangga serikat pekerja/serikat buruh yang
bersangkutan.
Bagian Ketiga
Organisasi
Pengusaha
Pasal 105
(1) Setiap pengusaha berhak membentuk dan
menjadi anggota organisasi pengusaha.
(2) Ketentuan mengenai organisasi pengusaha diatur sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang
berlaku.
Bagian Keempat
Lembaga Kerja Sama
Bipartit
Pasal 106
(1) Setiap
perusahaan yang mempekerjakan
50 (lima
puluh) orang
pekerja/ buruh
atau lebih wajib
membentuk lembaga kerja
sama bipartit.
(2) Lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi sebagai forum komunikasi, dan konsultasi mengenai
hal ketenagakerjaan di
perusahaan.
(3) Susunan
keanggotaan lembaga kerja
sama bipartit
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) terdiri dari unsur pengusaha dan unsur pekerja/buruh yang ditunjuk oleh pekerja/buruh secara demokratis untuk mewakili kepentingan pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
(4) Ketentuan
mengenai tata
cara pembentukan
dan susunan
keanggotaan lembaga kerja
sama bipartit sebagaimana
dimaksud dalam
ayat (1)
dan ayat
(3) diatur
dengan
Keputusan Menteri.
Bagian Kelima
Lembaga Kerja Sama
Tripartit
Pasal 107
(1) Lembaga
kerja sama
tripartit memberikan
pertimbangan, saran, dan
pendapat kepada
pemerintah dan pihak terkait
dalam penyusunan
kebijakan dan
pemecahan masalah
ketenagakerjaan.
(2) Lembaga Kerja sama
Tripartit sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1),
terdiri dari :
a. Lembaga Kerja sama Tripartit Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/ Kota; dan
b. Lembaga Kerja sama
Tripartit Sektoral Nasional,
Provinsi, dan Kabupaten/Kota.
(3) Keanggotaan
Lembaga Kerja
sama Tripartit terdiri
dari unsur
pemerintah, organisasi pengusaha, dan seri-kat
pekerja/serikat buruh.
(4) Tata kerja dan susunan organisasi Lembaga Kerja sama Tripartit sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keenam
Peraturan Perusahaan
Pasal 108
(1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh)
orang wajib
membuat peraturan
perusahaan yang mulai
berlaku setelah
disahkan oleh
Menteri atau pejabat yang
ditunjuk.
(2) Kewajiban
membuat peraturan
perusahaan sebagaimana
dimaksud dalam
ayat (1)
tidak berlaku
bagi peru-sahaan
yang telah memiliki
perjanjian kerja bersama.
Pasal 109
Peraturan perusahaan
disusun oleh
dan menjadi
tanggung jawab
dari pengusaha
yang
bersangkutan.
Pasal 110
(1) Peraturan
perusahaan disusun dengan
memperhatikan saran dan
pertimbangan dari wakil pekerja/buruh di perusahaan yang
bersangkutan.
(2) Dalam
hal di
perusahaan yang bersangkutan
telah terbentuk
serikat pekerja/serikat
buruh
maka wakil pe-kerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) adalah
pengurus serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Dalam
hal di
perusahaan yang bersangkutan
belum terbentuk
serikat pekerja/serikat
buruh, wakil pekerja/ buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah
pekerja/buruh yang dipilih secara demokratis untuk mewakili kepentingan para pekerja/buruh di perusahaan yang
bersangkutan.
Pasal 111
(1) Peraturan perusahaan sekurang-kurangnya
memuat :
a. hak dan
kewajiban pengusaha;
b. hak dan kewajiban
pekerja/buruh;
c. syarat kerja;
d. tata
tertib perusahaan; dan
e. jangka waktu
berlakunya peraturan perusahaan.
(2) Ketentuan
dalam peraturan
perusahaan tidak boleh
bertentangan dengan ketentuan
peraturan perundang undangan yang
berlaku.
(3) Masa berlaku peraturan perusahaan paling lama 2 (dua) tahun dan wajib diperbaharui setelah habis masa
berlakunya.
(4) Selama
masa berlakunya
peraturan perusahaan,
apabila serikat
pekerja/ serikat
buruh di
perusahaan meng hendaki
perundingan pembuatan perjanjian
kerja bersama,
maka pengusaha wajib
melayani.
(5) Dalam
hal perundingan
pembuatan perjanjian
kerja bersama sebagaimana
dimaksud dalam ayat (4)
tidak mencapai
kesepakatan, maka peraturan perusahaan tetap berlaku
sampai habis jangka waktu
berlakunya.
Pasal 112
(1) Pengesahan peraturan perusahaan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 108 ayat (1) harus sudah diberikan dalam waktu
paling lama 30 (tiga
puluh) hari kerja
sejak naskah peraturan
perusahaan diterima.
(2) Apabila
peraturan perusahaan telah
sesuai sebagaimana
ketentuan dalam Pasal
111 ayat
(1) dan
ayat (2),
maka dalam
waktu 30
(tiga puluh)
hari kerja
sebagaimana
dimaksud pada
ayat (1)
sudah terlampaui
dan peraturan
perusahaan belum disahkan
oleh Menteri atau
pejabat yang
ditunjuk, maka peraturan
perusahaan dianggap telah
mendapatkan pengesahan.
(3) Dalam
hal peraturan
perusahaan belum memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111
ayat (1)
dan ayat
(2) Menteri
atau pejabat
yang ditunjuk
harus
memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha mengenai perbaikan peraturan
perusahaan.
(4) Dalam
waktu paling
lama 14
(empat belas)
hari kerja
sejak tanggal
pemberitahuan diterima oleh pengusaha
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3),
pengusaha wajib
menyampaikan kembali peraturan perusahaan
yang telah
diperbaiki kepada Menteri
atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 113
(1) Perubahan
peraturan perusahaan
sebelum berakhir
jangka waktu
berlakunya hanya dapat dilakukan
atas dasar kesepakatan antara pengusaha dan
wakil pekerja/buruh.
(2) Peraturan
perusahaan hasil perubahan
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1)
harus mendapat pengesa-han
dari Menteri atau pejabat
yang ditunjuk.
Pasal 114
Pengusaha wajib memberitahukan dan menjelaskan isi serta memberikan naskah
peraturan perusahaan atau perubahannya kepada
pekerja/buruh.
Pasal 115
Ketentuan
mengenai tata
cara pembuatan
dan pengesahan
peraturan perusahaan diatur
dengan Keputusan Menteri.
Bagian Ketujuh
Perjanjian Kerja Bersama
Pasal 116
(1) Perjanjian
kerja bersama
dibuat oleh
serikat pekerja/serikat
buruh atau
beberapa serikat
pekerja/serikat buruh yang telah tercatat pada instansi yang bertanggung jawab
di
bidang ketenagakerjaan dengan
pengusaha atau beberapa
pengusaha.
(2) Penyusunan perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilaksanakan
secara musya-warah.
(3) Perjanjian
kerja bersama
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1)
harus dibuat
secara tertulis
dengan huruf latin
dan menggunakan bahasa
Indonesia.
(4) Dalam
hal terdapat
perjanjian kerja bersama
yang dibuat
tidak menggunakan
bahasa
Indonesia, maka per-janjian
kerja bersama tersebut harus diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia oleh penerjemah tersumpah dan terjemahan tersebut dianggap sudah memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3).
Pasal 117
Dalam hal musyawarah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (2) tidak mencapai
kesepakatan, maka penyelesaiannya
dilakukan melalui prosedur
penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Pasal 118
Dalam 1 (satu)
perusahaan hanya dapat
dibuat 1 (satu)
perjanjian kerja bersama
yang berlaku bagi
seluruh pekerja/buruh di
perusahaan.
Pasal 119
(1) Dalam hal di satu perusahaan hanya terdapat satu serikat pekerja/serikat buruh, maka
serikat pekerja/seri-kat buruh tersebut berhak
mewakili pekerja/buruh dalam perundingan
pembuatan perjanjian
kerja bersama
dengan pengusaha
apabila memiliki
jumlah anggota lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di
perusahaan yang bersangkutan.
(2) Dalam hal di satu perusahaan hanya terdapat satu serikat pekerja/serikat buruh
sebagaimana
dimaksud pada
ayat (1)
tetapi tidak
memiliki jumlah
anggota lebih
dari
50%
(lima puluh
perseratus) dari jumlah seluruh
pekerja/buruh di perusahaan
maka serikat
pekerja/serikat buruh dapat
mewakili pekerja/buruh
dalam perundingan
dengan
pengusaha apabila
serikat pekerja/serikat
buruh yang
bersangkutan telah mendapat
dukungan lebih 50% (lima
puluh perseratus)
dari jumlah
seluruh pekerja/buruh
di perusahaan melalui
pemungutan suara.
(3) Dalam
hal dukungan
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2)
tidak tercapai
maka serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan dapat mengajukan kembali
permintaan untuk
merundingkan perjanjian kerja bersama
dengan pengusaha
setelah melampaui jangka waktu
6
(enam) bulan
terhitung sejak dilakukannya
pemungutan suara dengan mengikuti
prosedur sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2).
Pasal 120
(1)
Dalam hal di satu perusahaan
terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh maka yang
berhak mewakili
pekerja/buruh melakukan perundingan
dengan pengusaha
yang jumlah keanggotaannya
lebih
dari
50% (lima
puluh perseratus)
dari seluruh
jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut.
(2)
Dalam hal
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1)
tidak terpenuhi,
maka
serikat pekerja/serikat
buruh dapat
melakukan koalisi
sehingga tercapai
jumlah lebih
dari 50% (lima puluh
perseratus) dari seluruh
jumlah pekerja/buruh
di perusahaan
tersebut untuk mewakili dalam
perundingan dengan
pengusaha.
(3)
Dalam hal
ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat
(1) atau
ayat (2)
tidak terpenuhi,
maka para
seri-kat
pekerja/serikat buruh membentuk
tim perunding
yang
keanggotaannya ditentukan
secara proporsional
berdasarkan jumlah anggota
masing- masing serikat
pekerja/serikat buruh.
Pasal 121
Keanggotaan serikat
pekerja/serikat buruh sebagaimana
dimaksud dalam
Pasal 119
dan
Pasal 120
dibuktikan dengan kartu
tanda anggota.
Pasal 122
Pemungutan suara
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 119
ayat (2) diselenggarakan oleh panitia yang terdiri
dari wakil-wakil
pekerja/buruh dan pengurus
serikat pekerja/serikat
buruh yang disaksikan oleh pihak pejabat yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dan pengusaha.
Pasal 123
(1) Masa berlakunya perjanjian kerja bersama
paling lama 2 (dua) tahun.
(2) Perjanjian
kerja bersama
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1)
dapat diperpanjang
masa berlakunya pa-ling
lama 1 (satu)
tahun berdasarkan
kesepakatan tertulis antara
pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama berikutnya dapat dimulai paling
cepat 3 (tiga)
bulan se-belum
berakhirnya perjanjian kerja
bersama yang
sedang berlaku.
(4) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak mencapai
kesepakatan maka perjan-jian kerja bersama yang sedang berlaku, tetap berlaku untuk
paling lama 1 (satu)
tahun.
Pasal 124 (1) Perjanjian kerja bersama paling sedikit memuat :
a. hak dan
kewajiban pengusaha;
b.
hak dan kewajiban
serikat pekerja/serikat buruh
serta pekerja/buruh;
c. jangka waktu
dan tanggal mulai
berlakunya perjanjian kerja
bersama; dan d. tanda tangan
para pihak pembuat
perjanjian kerja bersama.
e. Ketentuan dalam perjanjian kerja bersama tidak boleh bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(2) Dalam
hal
isi perjanjian
kerja bersama
bertentangan dengan peraturan
perundang-
undangan yang
berlaku sebagaimana
dimaksud dalam
ayat (2),
maka ketentuan
yang bertentangan tersebut
batal demi
hukum dan
yang berlaku
adalah ketentuan
dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 125
Dalam hal
kedua belah
pihak sepakat
mengadakan perubahan perjanjian
kerja bersama,
maka perubahan tersebut
merupakan bagian yang
tidak terpisahkan
dari perjanjian
kerja bersama yang
sedang berlaku.
Pasal 126
(1) Pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh dan pekerja/buruh wajib melaksanakan
ketentuan yang ada da-lam
perjanjian kerja bersama.
(2) Pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan isi perjanjian kerja
bersama atau
peru-bahannya kepada
seluruh pekerja/ buruh.
(3) Pengusaha
harus mencetak
dan membagikan
naskah perjanjian
kerja bersama
kepada
setiap pekerja/
buruh atas biaya
perusahaan.
Pasal 127
(1) Perjanjian kerja yang dibuat oleh pengusaha dan pekerja/buruh tidak boleh bertentangan dengan perjanjian kerja
bersama.
(2) Dalam
hal ketentuan dalam
perjanjian kerja sebagaimana
dimaksud dalam
ayat (1)
bertentangan dengan perjanjian kerja bersama, maka ketentuan dalam perjanjian kerja
tersebut batal demi hukum
dan yang berlaku adalah ketentuan dalam perjanjian kerja
bersama.
Pasal 128
Dalam hal perjanjian kerja tidak memuat aturan-aturan yang diatur dalam perjanjian
kerja bersama maka yang
berlaku adalah aturan-aturan dalam
perjanjian kerja bersama.
Pasal 129
(1) Pengusaha
dilarang mengganti
perjanjian kerja bersama
dengan peraturan
perusahaan, selama di
perusa-haan yang bersangkutan masih ada serikat
pekerja/serikat buruh.
(2) Dalam
hal di
perusahaan tidak ada
lagi serikat
pekerja/serikat buruh dan
perjanjian
kerja bersama
diganti dengan
peraturan perusahaan, maka
ketentuan yang ada
dalam peraturan
perusahaan tidak boleh lebih rendah dari ketentuan yang ada dalam
perjanjian kerja bersama.
Pasal 130
(1) Dalam
hal perjanjian
kerja bersama
yang sudah
berakhir masa
berlakunya akan
diperpanjang
atau diper-baharui
dan di
perusahaan tersebut hanya
terdapat 1 (satu)
serikat pekerja/serikat buruh, maka perpanjangan atau pembuatan pembaharuan
perjanjian kerja bersama
tidak mensyaratkan ketentuan
dalam Pasal 119.
(2) Dalam
hal perjanjian
kerja bersama
yang sudah
berakhir masa
berlakunya akan diperpanjang atau
diper-baharui dan di perusahaan tersebut terdapat lebih dari 1 (satu)
serikat
pekerja/serikat buruh dan
serikat pekerja/serikat
buruh yang
dulu berunding
tidak lagi memenuhi
ketentuan Pasal 120 ayat (1), maka perpanjangan atau pembuatan
pembaharuan perjanjian kerja
bersama dilakukan
oleh serikat
pekerja/serikat buruh yang anggotanya lebih 50%
(lima puluh
perseratus) dari jumlah
seluruh pekerja/buruh
di
perusahaan bersama-sama dengan
serikat
pekerja/serikat buruh
yang membuat
perjanjian kerja bersama terdahulu dengan membentuk tim perunding secara
proporsional.
(3) Dalam
hal perjanjian
kerja bersama
yang sudah
berakhir masa
berlakunya akan diperpanjang atau
diper-baharui dan di perusahaan tersebut terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/ serikat buruh dan
tidak satupun
serikat pekerja/serikat buruh yang ada
memenuhi ketentuan Pasal 120 ayat (1), maka perpanjangan atau pembuatan
pembaharuan perjanjian kerja
bersama dilakukan
menurut ketentuan
Pasal 120
ayat (2) dan ayat (3).
Pasal 131
(1) Dalam hal terjadi pembubaran serikat pekerja/serikat buruh atau pengalihan
kepemilikan perusahaan maka perjanjian
kerja bersama tetap berlaku sampai
berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja bersama.
(2) Dalam
hal terjadi
penggabungan perusahaan (merger)
dan masing-masing
perusahaan mempunyai perjan-jian kerja
bersama maka
perjanjian kerja bersama
yang berlaku
adalah perjanjian kerja bersama yang
lebih menguntungkan pekerja/buruh.
(3) Dalam hal terjadi penggabungan perusahaan (merger) antara perusahaan yang
mempunyai perjanjian kerja bersama dengan
perusahaan yang belum mempunyai
perjanjian kerja bersama maka perjanjian kerja bersama tersebut berlaku bagi perusahaan yang bergabung (merger) sampai dengan berakhirnya jangka waktu
perjanjian kerja bersama.
Pasal 132
(1) Perjanjian
kerja bersama
mulai berlaku
pada hari
penandatanganan kecuali ditentukan
lain dalam perjanjian kerja
bersama tersebut.
(2) Perjanjian
kerja bersama
yang ditandatangani
oleh pihak
yang membuat
perjanjian kerja bersama selan-jutnya didaftarkan oleh pengusaha pada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.
Pasal 133
Ketentuan mengenai persyaratan serta tata cara pembuatan, perpanjangan, perubahan, dan
pendaftaran perjanjian kerja bersama
diatur dengan Keputusan
Menteri.
Pasal 134
Dalam mewujudkan pelaksanaan hak dan kewajiban pekerja/buruh dan pengusaha,
pemerintah wajib melaksanakan pengawasan dan penegakan peraturan perundang-
undangan ketenagakerjaan.
Pasal 135
Pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan dalam mewujudkan
hubungan industrial merupakan tanggung jawab pekerja/buruh, pengusaha, dan pemerintah.
Bagian Kedelapan
Lembaga Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial
Paragraf 1
Perselisihan
Hubungan Industrial
Pasal 136
(1) Penyelesaian
perselisihan hubungan industrial
wajib dilaksanakan
oleh pengusaha
dan
pekerja/buruh atau
serikat pekerja/serikat buruh
secara musyawarah untuk
mufakat.
(2) Dalam
hal penyelesaian
secara musyawarah
untuk mufakat
sebagaimana dimaksud
dalam
ayat (1)
tidak tercapai,
maka pengusaha
dan pekerja/
buruh atau
serikat pekerja/serikat buruh menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui
prosedur penyelesaian
perselisihan hubungan industrial
yang diatur
dengan undang-
undang.
Paragraf 2
Mogok Kerja
Pasal 137
Mogok kerja sebagai
hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dilakukan
secara sah,
tertib, dan damai
sebagai akibat gagalnya
perundingan.
Pasal 138
(1) Pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh yang bermaksud mengajak pekerja/buruh
lain untuk
mogok kerja
pada saat
mogok kerja
berlangsung dilakukan dengan tidak
melanggar hukum.
(2) Pekerja/buruh yang diajak mogok kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat
memenuhi atau tidak memenuhi
ajakan tersebut.
Pasal 139
Pelaksanaan mogok kerja bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan yang
melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatan-nya membahayakan keselamatan jiwa
manusia diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu kepentingan umum dan/atau membahayakan keselamatan orang lain.
Pasal 140
(1) Sekurang-kurangnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja dilaksanakan, pekerja/buruh dan serikat
pekerja/serikat buruh wajib
memberitahukan
secara
tertulis kepada
pengusaha dan
instansi yang
bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan setempat.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1)
sekurang-kurangnya
memuat :
a. waktu (hari,
tanggal, dan jam)
dimulai dan diakhiri
mogok kerja;
b.
tempat
mogok kerja;
c. alasan dan
sebab-sebab mengapa harus
melakukan mogok kerja;
dan
d.
tanda tangan
ketua dan
sekretaris dan/atau masing-masing
ketua dan
sekretaris
serikat pekerja/serikat buruh
sebagai penanggung jawab
mogok kerja.
(3) Dalam hal mogok kerja akan dilakukan oleh pekerja/buruh yang tidak menjadi
anggota serikat pekerja/ serikat
buruh, maka
pemberitahuan sebagaimana dimaksud
dalam
ayat (2)
ditandatangani oleh perwakilan
pekerja/buruh yang ditunjuk
sebagai koordinator dan/atau
penanggung jawab mogok
kerja.
(4) Dalam hal mogok kerja dilakukan tidak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka
demi
menyelamat kan alat produksi
dan aset perusahaan, pengusaha dapat mengambil
tindakan sementara dengan cara :
a. melarang
para pekerja/buruh
yang mogok
kerja berada
di lokasi
kegiatan proses
produksi; atau
b.
bila dianggap
perlu melarang
pekerja/buruh yang mogok
kerja berada
di lokasi
perusahaan.
Pasal 141
(1) Instansi
pemerintah dan pihak
perusahaan yang menerima
surat pemberitahuan
mogok
kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal
140 wajib memberikan tanda terima.
(2) Sebelum
dan selama
mogok kerja
berlangsung, instansi yang
bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan wajib menyelesaikan
masalah yang
menyebabkan timbulnya pemogokan dengan
mempertemukan dan merundingkannya
dengan para
pihak yang
berselisih.
(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) menghasilkan
kesepakatan, maka harus
dibuatkan perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para
pihak dan pegawai
dari instansi
yang bertanggung
jawab di
bidang ketenagakerjaan
sebagai saksi.
(4) Dalam
hal perundingan
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2)
tidak menghasilkan
kesepakatan, maka pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan segera menyerahkan
masalah yang
menyebabkan terjadinya mogok
kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berwenang.
(5) Dalam hal perundingan tidak menghasilkan kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), maka atas dasar perundingan antara pengusaha dengan serikat
pekerja/serikat
buruh atau penanggung jawab mogok kerja, mogok kerja dapat
diteruskan atau dihentikan untuk
sementara atau dihentikan sama sekali.
Pasal 142
(1) Mogok kerja yang dilakukan
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 139
dan Pa-sal 140
adalah mogok kerja
tidak sah.
(2) Akibat hukum dari mogok kerja yang tidak sah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
akan diatur
dengan Keputusan Menteri.
Pasal 143
(1) Siapapun
tidak dapat
menghalang-halangi pekerja/buruh
dan serikat
pekerja/serikat buruh untuk
mengguna kan
hak mogok
kerja yang
dilakukan secara sah,
tertib, dan
damai.
(2) Siapapun dilarang melakukan penangkapan dan/atau penahanan terhadap
pekerja/buruh dan pengurus
serikat pekerja/serikat
buruh yang
melakukan mogok
kerja secara sah, tertib, dan damai sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 144
Terhadap mogok
kerja yang
dilakukan sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 140,
pengusaha dilarang :
a.
mengganti
pekerja/buruh yang mogok kerja dengan pekerja/buruh lain dari luar
perusahaan; atau
b. memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apapun kepada pekerja/buruh
dan pengurus serikat pekerja/serikat
buruh selama
dan sesudah
melakukan mogok
kerja.
Pasal 145
Dalam hal
pekerja/buruh yang melakukan
mogok kerja
secara sah
dalam melakukan
tuntutan hak normatif yang sungguh-sungguh
dilanggar oleh pengusaha,
pekerja/buruh
berhak mendapatkan upah.
Paragraf 3
Penutupan Perusahaan
(lock-out)
Pasal 146
(1) Penutupan
perusahaan (lock out)
merupakan hak dasar
pengusaha untuk menolak
pekerja/buruh sebagian
atau seluruhnya
untuk menjalankan
pekerjaan sebagai akibat
gagalnya perundingan.
(2) Pengusaha tidak dibenarkan melakukan penutupan
perusahaan (lock out)
sebagai tindakan
balasan
sehubungan
adanya tuntutan
normatif dari
pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Tindakan
penutupan perusahaan (lock
out) harus
dilakukan sesuai dengan
ketentuan
hukum yang
berlaku.
Pasal 147
Penutupan perusahaan
(lock out)
dilarang dilakukan
pada perusahaan-perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau
jenis kegiatan
yang membahayakan
keselamatan jiwa manusia,
meliputi rumah sakit, pelayanan jaringan air bersih, pusat pengendali
telekomunikasi, pusat
penyedia
tenaga
listrik, pengolahan
minyak dan
gas bumi,
serta kereta api.
Pasal 148
(1) Pengusaha wajib memberitahukan secara tertulis kepada pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh, serta instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
setempat sekurang-kurangnya
7
(tujuh) hari
kerja sebelum
penutupan perusahaan (lock
out) dilaksanakan.
(2) Pemberitahuan
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1)
sekurang-kurangnya memuat
:
a.
waktu (hari,
tanggal, dan
jam) dimulai
dan diakhiri
penutupan
perusahaan (lock out); dan
b. alasan
dan sebab-sebab melakukan
penutupan perusahaan (lock
out).
(3) Pemberitahuan
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1)
ditandatangani oleh pengusaha
dan/atau pimpinan perusahaan yang
bersangkutan.
Pasal 149
(1) Pekerja/buruh atau
serikat pekerja/serikat
buruh dan
instansi yang
bertanggung jawab
di bidang ketenaga-kerjaan
yang menerima secara langsung surat pemberitahuan
penutupan perusahaan (lock out) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 harus
memberikan tanda bukti penerimaan dengan mencantumkan
hari, tanggal,
dan jam
penerimaan.
(2) Sebelum
dan selama
penutupan perusahaan
(lock out)
berlangsung, instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan berwenang langsung menyelesaikan
masalah yang menyebabkan timbulnya penutupan perusahaan (lock out) dengan mempertemukan dan
merundingkannya dengan para
pihak yang berselisih.
(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) menghasilkan
kesepakatan, maka harus
dibuat perjanjian
bersama yang
ditandatangani oleh para
pihak dan
pegawai dari
instansi yang
bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan
sebagai saksi.
(4) Dalam
hal perundingan
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2)
tidak menghasilkan
kesepakatan, maka pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan segera menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadinya
penutupan perusahaan (lock
out) kepada
lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial.
(5) Apabila
perundingan tidak menghasilkan
kesepakatan sebagaimana dimaksud
dalam ayat
(4), maka
atas dasar
perundingan antara pengusaha
dan serikat
pekerja/serikat buruh, penutupan
perusahaan (lock out) dapat diteruskan atau dihentikan untuk
sementara atau dihentikan sama
sekali.
(6) Pemberitahuan
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 148
ayat (1)
dan ayat
(2) tidak
diperlukan apabila :
a. pekerja/buruh
atau serikat
pekerja/serikat buruh melanggar
prosedur mogok
kerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 140;
b. pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh melanggar ketentuan normatif
yang ditentukan dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan,
perjanjian kerja bersama, atau
peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
BAB XII PEMUTUSAN HUBUNGAN
KERJA
Pasal 150
Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja dalam undang-undang ini meliputi pemutusan
hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan
hukum atau tidak,
milik orang perseorangan,
milik persekutuan
atau milik
badan hukum,
baik milik
swasta maupun
milik negara,
maupun usaha-usaha sosial
dan usaha-usaha lain
yang mempunyai
pengurus dan mempekerjakan
orang lain
dengan
membayar
upah atau
imbalan dalam
bentuk lain.
Pasal 151
(1) Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala
upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi
pemutusan hubungan kerja.
(2) Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan
hubungan kerja tidak dapat
dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila
pekerja/buruh yang bersangkutan tidak
menjadi anggota serikat
pekerja/serikat buruh.
(3) Dalam
hal perundingan
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2)
benar-benar tidak
menghasilkan persetu-juan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial.
Pasal 152
(1) Permohonan
penetapan pemutusan hubungan
kerja diajukan
secara tertulis
kepada lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial
disertai alasan
yang menjadi
dasarnya.
(2) Permohonan
penetapan sebagaimana dimaksud
dalam ayat
(1) dapat
diterima oleh
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial apabila telah dirundangkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 151 ayat
(2).
(3) Penetapan
atas permohonan
pemutusan hubungan kerja
hanya dapat
diberikan oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika ternyata maksud untuk
memutuskan hubungan
kerja telah dirundingkan, tetapi perundingan tersebut tidak
menghasilkan kesepakatan.
Pasal 153
(1) Pengusaha
dilarang melakukan pemutusan
hubungan kerja dengan
alasan :
a. pekerja/buruh
berhalangan masuk kerja
karena sakit
menurut keterangan
dokter selama waktu
tidak melampaui 12
(dua belas) bulan
secara terus-menerus;
b. pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi
kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku;
c. pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
d.
pekerja/buruh menikah;
e. pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui
bayinya;
f. pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan
pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja
bersama;
g. pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat
pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat
buruh di luar
jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau
berdasarkan ketentuan yang
diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama;
h. pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak
pidana kejahatan;
i. karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis
kelamin, kondisi fisik, atau status
perkawinan;
j. pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit
karena hubungan kerja
yang menurut
surat keterangan
dokter yang
jangka waktu
penyembuhannya belum dapat dipastikan.
(2)
Pemutusan hubungan
kerja yang
dilakukan dengan
alasan sebagaimana
dimaksud dalam
ayat
(1)
batal demi
hukum dan
pengusaha wajib
mempekerjakan kembali
pekerja/buruh yang
bersangkutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar