Sabtu, 25 Mei 2013

UU Tenaga Kerja No.13 Tahun 2003 bagian 2

Pasal 65
(1) Penyeraha sebagia pelaksanaa pekerjaa kepad perusahaa lai dilaksanakan melalui perjanjian pem borongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis
(2) Pekerjaa yan dapa diserahka kepad perusahaa lai sebagaiman dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a.  dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b.  dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
c.  merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
d.  tidak menghambat proses produksi secara langsung.
(2) Perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus berbentuk badan hukum.
(3) Perlindungan  kerja  dan  syarat-syarat  kerja  bagi  pekerja/buruh  pada  perusahaan  lain
sebagaimana       dimak-sud     dalam     ayat    (2)     sekurang-kurangnya     sama      dengan perlindungan  kerja  dan  syarat-syarat  kerja  pada  perusahaan  pemberi  pekerjaan  atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Perubahan  dan/atau  penambahan  syarat-syarat  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (2)
diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
(5) Hubungan  kerja  dalam  pelaksanaan  pekerjaan  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1) diatur  dalam  perjanjian  kerja  secara  tertulis  antara  perusahaan  lain  dan  pekerja/buruh yang dipekerjakannya.
(6) Hubungan   kerja   sebagaimana   dimaksudalam   ayat   (6)    dapadidasarkan   atas perjanjian  kerja  waktu  tidak  tertentu  atau  perjanjian  kerja  waktu  tertentu  apabila
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59.
(7) Dalam  hal  ketentuan  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (2)  dan  ayat  (3)  tidak
terpenuhi,  maka  demi  hukum  status  hubungan  kerja  pekerja/buruh  dengan  perusahaan penerima     pemborongan                  beralih               menjadi   hubungakerja            pekerja/buruh                 dengan perusahaan pemberi pekerjaan.
(8) Dalam  hal  hubungan  kerja  beralih  ke  perusahaan  pemberi  pekerjaan  sebagaimana dimaksu dala aya (8) mak hubunga kerj pekerja/buru denga pemberi pekerjaan sesuai dengan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (7).

Pasal 66
(1) Pekerja/buruh  dari  perusahaan  penyedia  jasa  pekerja/buruh  tidak  boleh  digunakan oleh          pemberi          kerja         untumelaksanakan               kegiatan   pokok   atau   kegiatan   yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
(2) Penyedia  jasa  pekerja/buruh  untuk  kegiatan  jasa  penunjang  atau  kegiatan  yang  tidak
berhubungan     langsung     dengan    proses    produksi    harus    memenuhi     syarat    sebagai berikut :
a adanya    hubungan   kerja   antara   pekerja/buruh   dan   perusahaan   penyedia   jasa pekerja/buruh;
b.  perjanjian  kerja  yang  berlaku  dalam  hubungan  kerja  sebagaimana  dimaksud  pada
huruf  a  adalah  perjanjian  kerja  untuk  waktu  tertentu  yang  memenuhi  persyaratan sebagaiman dimaksud  dalam  Pasal  59  dan/atau  perjanjian  kerja  waktu  tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak;
c perlindungan  upah  dan  kesejahteraan,  syarat-syarat  kerja,  serta  perselisihan  yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; dan
d.  perjanjian  antara  perusahaan  pengguna  jasa  pekerja/buruh  dan  perusahaan  lain yang  bertinda sebagai  perusahaan  penyedia  jasa  pekerja/buruh  dibuat  secara tertuli da waji memua pasal-pasa sebagaiman dimaksu dala undang- undang ini.
(3) Penyedia  jasa  pekerja/buruh  merupakan  bentuk  usaha  yang  berbadan  hukum  dan
memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
(4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf b,
dan  huruf  d  serta  ayat  (3)  tidak  terpenuhi,  maka  demi  hukum  status  hubungan  kerja antar pekerja/buruh  dan  perusahaan  penyedia  jasa  pekerja/buruh  beralih  menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.

BAB X PERLINDUNGAN, PENGUPAHAN, DAN KESEJAHTERAAN

Bagian Kesatu
Perlindungan

Paragraf 1
Penyandang Cacat

Pasal 67
(1) Pengusaha  yang  mempekerjakan  tenaga  kerja  penyandang  cacat  wajib  memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.
(2) Pemberian  perlindungan  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1)  dilaksanakan  sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Paragraf Anak


Pengusaha dilarang mempekerjakan anak.

Pasal 68
Pasal 69
(1) Ketentuan  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  68  dapat  dikecualikan  bagi  anak yang berumur  antar 1 (tiga  belas)  tahun  sampai  dengan  15  (lima  belas)  tahun  untuk melakukan                  pekerjaaringan   sepanjang                     tidak            mengganggu               perkembangan               dan kesehatan fisik, mental, dan sosial.
(2) Pengusaha  yang  mempekerjakan  anak  pada  pekerjaan  ringan  sebagai-mana  dimaksud
dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan :
a. izin tertulis dari orang tua atau wali;
b. perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali;
c. waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam;
d. dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah;
e. keselamatan dan kesehatan kerja;
f.  adanya hubungan kerja yang jelas; dan
g. menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, b, f, dan g dikecualikan bagi anak yang bekerja pada usaha keluarganya.

Pasal 70
(1) Anak  dapat  melakukan  pekerjaan  di  tempat  kerja  yang  merupakan  bagian  dari
kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang.
(2) Anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit berumur 14 (empat belas)
tahun.
(3) Pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan dengan syarat :
a diberi petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan serta bimbingan dan
pengawasan dalam melaksanakan pekerjaan; dan
b.  diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.



Pasal 71
(1) Anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya.
(2) Pengusaha  yang  mempekerjakan  anak  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1)  wajib
memenuhi syarat :
a di bawah pengawasan langsung dari orang tua atau wali;
b.  waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari; dan

c kondis da lingkunga kerj tida menggangg perkembanga fisik mental, sosial, dan waktu sekolah.
(3) Ketentua mengena ana yan bekerj untu mengembangka baka da minat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 72
Dalam  hal  anak  dipekerjakan  bersama-sama  dengan  pekerja/buruh  dewasa,  maka  tempat
kerja anak harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh dewasa.

Pasal 73
Ana diangga bekerj bilaman berad d tempa kerja kecual dapa dibuktikan sebaliknya.

Pasal 74
(1) Siapapun  dilarang  mempekerjakan  dan  melibatkan  anak  pada  pekerjaan-pekerjaan yang terburuk.
(2) Pekerjaan-pekerjaan yang terburuk yang dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
a.  segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya;
b.  segala  pekerjaan  yang  memanfaatkan,  menyediakan,  atau  menawarkan  anak  untuk
pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, atau perjudian;
c.  segala  pekerjaan  yang  memanfaatkan,  menyediakan,  atau  melibatkan  anak  untuk produksi dan  perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif
lainnya; dan/atau
d.  semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak.
(3) Jenis-jenis  pekerjaaan  yang  membahayakan  kesehatan,  keselamatan,  atau  moral  anak sebagaimana di-maksud dalam ayat (2) huruf d ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Pasal 75
(1) Pemerintah berkewajiban melakukan upaya penanggulangan anak yang bekerja di luar
hubungan kerja.
(2) Upaya    penanggulangan      sebagaimana      dimaksud     dalam    ayat    (1)    diatur     dengan
Peraturan Pemerintah.

Paragraf 3
Perempuan

Pasal 76
(1) Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00.
(2) Pengusah dilaran mempekerjaka pekerja/buru perempua hami yan menurut keterangan  dokter  berbahaya  bagi  kesehatan  dan  keselamatan  kandungannya  maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00.
(3) Pengusaha  yang  mempekerjakan  pekerja/buruh  perempuan  antara  pukul  23.00  sampai dengan pukul 07.00 wajib :
a memberikan makanan dan minuman bergizi; dan
b.  menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja.
(4) Pengusaha  wajib  menyediakan  angkutan  antar  jemput  bagi  pekerja/buruh  perempuan
yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00.
(5) Ketentuasebagaimana   dimaksudalam   ayat   (3)   dan   ayat   (4)   diatur   dengan
Keputusan Menteri.

Paragraf 4
Waktu Kerja

Pasal 77
(1) Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja. (2) Waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :

a.   7  (tujuh)  jam  1  (satu)  hari  dan  40  (empat  puluh)  jam  1  (satu)  minggu  untuk  6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau
b.  8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
(3) Ketentuan  waktu  kerja  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (2)  tidak  berlaku  bagi sektor usaha atau peker-jaan tertentu.
(4) Ketentuan   mengenai    waktu   kerja    pada   sektor    usaha   atau   pekerjaan    tertentu
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 78
(1) Pengusah yan mempekerjaka pekerja/buru melebih wakt kerj sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat :
a.   ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan
b.  waktu  kerja  lembur  hanya  dapat  dilakukan  paling  banyak  3  (tiga)  jam  dalam  1
(satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.
(2) Pengusah yan mempekerjaka pekerja/buru melebih wakt kerj sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur.
(3) Ketentuan  waktu  kerja  lembur  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1)  huruf  b  tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.
(4) Ketentuan    mengenai     waktu    kerja    lembur    dan    upah    kerja    lembur    sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 79
(1) Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh.
(2) Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi :
a.   istirahat antara jam kerja, sekurang kurangnya setengah jam setelah bekerja selama
4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja;
b.  istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu;
c.   cuti  tahunan,  sekurang  kurangnya  12  (dua  belas)  hari  kerja  setelah  pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus; dan
d.  istirahat  panjang  sekurang-kurangnya  2  (dua)  bulan  dan  dilaksanakan  pada  tahun
ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja  selama  6  (enam) tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama dengan      ketentuan    pekerja/burutersebut               tidak           berhak              lagi          atas     istirahat tahunannya  dalam  2  (dua)  tahun  berjalan  dan  selanjutnya  berlaku  untuk  setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.
(3) Pelaksanaan  waktu  istirahat  tahunan  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (2)  huruf  c diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
(4) Hak  istirahat  panjang  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (2)  huruf  d  hanya  berlaku bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan tertentu.
(5) Perusahaan  tertentu  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (4)  diatur  dengan  Keputusan
Menteri.

Pasal 80
Pengusahwajimemberikakesempatayansecukupnykepadpekerjaburuuntuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya.

Pasal 81
(1) Pekerja/buruh    perempuan     yang     dalam     masa     haid     merasakan     sakit     dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid.
(2) Pelaksanaan  ketentuan  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1)  diatur  dalam  perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Pasal 82
(1) Pekerja/buruh  perempuan  berhak  memperoleh  istirahat  selama  1,5  (satu  setengah)
bula sebelu saatny melahirka ana da 1, (sat setengah bula sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.
(2) Pekerja/buruh  perempuan  yang  mengalami  keguguran  kandungan  berhak  memperoleh istiraha 1, (sat setengah bula ata sesua denga sura keteranga dokter kandungan atau bidan.
Pasal 83
Pekerja/buruh   perempuan   yang    anaknya     masih     menyusu     harus     diberi     kesempatan
sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.

Pasal 84
Setia pekerja/buru yan menggunaka ha wakt istiraha sebagaiman dimaksud dalam Pasal 79  ayat (2) huruf b, c, dan d, Pasal 80, dan Pasal 82 berhak mendapat upah penuh.
Pasal 85
(1) Pekerja/buruh tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi.
(2) Pengusaha  dapat  mempekerjakan  pekerja/buruh  untuk  bekerja  pada  hari-hari  libur resmi  apabil jeni dan  sifat  pekerjaan  tersebut  harus  dilaksanakan  atau  dijalankan secara                terus           menerus             atau    pada         keadaan        lain          berdasarkan            kesepakatan   antara pekerja/buruh dengan pengusaha.
(3) Pengusaha  yang  mempekerjakan  pekerja/buruh  yang  melakukan  pekerjaan  pada  hari
libur resmi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib membayar upah kerja lembur.
(4) Ketentuan  mengenai  jenis  dan  sifat  pekerjaan  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (2)
diatur dengan Keputusan Menteri.

Paragraf 5
Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Pasal 86
(1) Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas :
a keselamatan dan kesehatan kerja;
b.  moral dan kesusilaan; dan
c perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.
(2) Untuk  melindungi  keselamatan  pekerja/buruh  guna  mewujudkan  produktivitas  kerja yang optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja.
(3) Perlindungan  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1)  dan  ayat  (2)  dilaksanakan  sesuai
dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku.

Pasal 87
(1) Setiap  perusahaan  wajib  menerapkan  sistem  manajemen  keselamatan  dan  kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan.
(2) Ketentuan  mengenai  penerapan  sistem  manajemen  keselamatan  dan  kesehatan  kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua
Pengupahan.

Pasal 88
(1) Setiap  pekerja/buruh  berhak  memperoleh  penghasilan  yang  memenuhi  penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
(2) Untuk    mewujudkan    penghasilan     yang    memenuhi     penghidupan    yang     layak    bagi
kemanusiaan   sebagaimana    dimaksud   dalam    ayat    (1),    pemerintah     menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh.
(3) Kebijakan  pengupahan  yang  melindungi  pekerja/buruh  sebagaimana          dimaksud  dalam ayat (2) meliputi :
a upah minimum;

b.  upah kerja lembur;
c upah tidak masuk kerja karena berhalangan;
d.  upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;
e upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;
f.    bentuk dan cara pembayaran upah;
g denda dan potongan upah;
h hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;
i.    struktur dan skala pengupahan yang proporsional;
j.    upah untuk pembayaran pesangon; dan
k.  upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
(4) Pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a berdasarka kebutuhan  hidup  layak  dan  dengan  mem-perhatikan  produktivitas  dan
pertumbuhan ekonomi.

Pasal 89
(1) Upaminimum sebagaimandimaksudalaPasa8aya(3huruf  a  dapaterdiri atas:
a upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota;
b.  upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota.
(2) Upah  minimum  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1)  diarahkan  kepada  pencapaian kebutuhan hidup layak.
(3) Upah  minimum  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1)  ditetapkan  oleh  Gubernur
dengan    memperhatikan      rekomendasi     dari    Dewan    Pengupahan     Provinsi     dan/atau
Bupati/Walikota.
(4) Komponen serta pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan hidup layak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 90
(1) Pengusaha  dilarang  membayar  upah  lebih  rendah  dari  upah  minimum  sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 89.
(2) Bagi  pengusaha  yang  tidak  mampu  membayar  upah  minimum  sebagaimana  dimaksud dalam Pasal 89 dapat dilakukan penangguhan.
(3) Tata    cara    penangguhan     sebagaimana     dimaksud    dalam    ayat    (2)    diatur    dengan
Keputusan Menteri.

Pasal 91
(1) Pengatura pengupaha yan ditetapka ata kesepakata antar pengusah dan
pekerja/buruh   atau   serikat   pekerja/serikat   buruh   tidak   boleh   lebih   rendah   dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dalam  hal  kesepakatan  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1)  lebih  rendah  atau bertentangan  dengan  peraturan  perundang-undangan,  kesepakatan  tersebut  batal  demi hukum,    dan      pengusaha         wajib               membayar              upah     pekerja/buruh menurut                       peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 92
(1) Pengusaha    menyusun     struktur    dan    skala    upah    dengan    memperhatikan     golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi.
(2) Pengusaha   melakukan   peninjauan   upah    secara    berkala    dengan   memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas.
(3) Ketentuan  mengenai  struktur  dan  skala  upah  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1)
diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 93
(1) Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku, dan pengusaha wajib membayar upah apabila :
a pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;

b.  pekerja/buruh  perempuan  yang  sakit  pada  hari  pertama  dan  kedua  masa  haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
c pekerja/buruh  tidak  masuk  bekerja  karena  pekerja/buruh  menikah,  menikahkan, mengkhitankan,                            membaptiskan      anaknya,      isteri      melahirkan      atau     keguguran kandungan,  suami  atau  isteri  atau  anak  atau  menantu  atau  orang  tua  atau  mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia;
d.  pekerja/buruh  tidak  dapat  melakukan  pekerjaannya  karena  sedang  menjalankan
kewajiban terhadap negara;
e pekerja/buruh  tidak  dapat  melakukan  pekerjaannya  karena  menjalan-kan  ibadah
yang diperintahkan agamanya;
f.    pekerja/buruh   bersedia    melakukan    pekerjaan    yang    telah    dijanjikan         tetapi pengusaha                    tidak   mempekerjakannya,               baik     karena       kesalahan      sendiri        maupun
halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha;
g pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat;
h pekerja/buruh  melaksanakan  tugas  serikat  pekerja/serikat  buruh  atas  persetujuan pengusaha; dan
i.    pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.
(3) Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang sakit sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a sebagai berikut :
a untuk 4 (empat) bulan pertama, dibayar 100% (seratus perseratus) dari upah;
b.  untuk 4 (empat) bulan kedua, dibayar 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari upah;
c untuk 4 (empat) bulan ketiga, dibayar 50% (lima puluh perseratus) dari upah; dan
d.  untu bula selanjutny dibaya 25 (du pulu lim perseratus dar upah sebelum pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh pengusaha.
(4) Upah  yang  dibayarkan  kepada  pekerja/buruh  yang  tidak  masuk  bekerja  sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c sebagai berikut :
a.  pekerja/buruh menikah, dibayar untuk selama 3 (tiga) hari;
b.  menikahkan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
c.  mengkhitankan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
d.  membaptiskan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
e.  isteri melahirkan atau keguguran kandungan, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
f.   suami/isteri,  orang  tua/mertua  atau  anak  atau  menantu  meninggal  dunia,  dibayar
untuk selama 2 (dua) hari; dan
g.   anggota  keluarga  dalam  satu  rumah  meninggal  dunia,  dibayar  untuk  selama  1
(satu) hari.
(5) Pengaturan  pelaksanaan  ketentuan  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (2)  ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Pasal 94
Dalam  hal  komponen  upah terdiri  dari  upah  pokok  dan  tunjangan  tetap  maka  besarnya upah  pokok  sedikit-dikitnya 75 % (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah upah pokok dan tunjangan tetap.

Pasal 95
(1) Pelanggaran  yang  dilakukan  oleh  pekerja/buruh  karena  kesengajaan  atau  kelalaiannya dapat dikenakan denda.
(2) Pengusaha  yang  karena  kesengajaan  atau  kelalaiannya  mengakibatkan  keterlambatan
pembayaran  upah,  dikenakan  denda  sesuai  dengan  persentase  tertentu  dari  upah pekerja/buruh.
(3) Pemerintah   mengatur   pengenaan   denda   kepada   pengusaha   dan/atau   pekerja/buruh, dalam pembayaran upah.
(4) Dalam    hal    perusahaan     dinyatakan     pailit     atau    dilikuidasi     berdasarkan     peraturan
perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pem-bayarannya.

Pasal 96
Tuntuta pembayara upa pekerja/buru da segal pembayara yan timbu dari
hubungan kerja menjadi kadaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sejak timbulnya hak.

Pasal 97
Ketentuan  mengenai  penghasilan  yang  layak,  kebijakan  pengupahan,  kebutuhan  hidup
layak,  dan  perlindungan  pengupahan  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  88,  penetapan upah       minimum           sebagaimana dimaksud         dalam          Pasal     89,       dan   pengenaan              denda sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  95  ayat  (1),  ayat  (2)  dan  ayat  (3)  diatur  dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 98
(1) Untu memberika saran pertimbangan da merumuska kebijaka pengupahan yang  akan  ditetapkan  oleh  pemerintah,  serta  untuk  pengembangan  sistem  pengupahan nasional dibentuk Dewan Pengupahan Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.
(2) Keanggotaan  Dewan  Pengupahan  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1)  terdiri  dari unsu pemerintah organisas pengusaha serika pekerja/-serika buruh perguruan
tinggi, dan pakar.
(3) Keanggotaan  Dewan  Pengupahan  tingkat  Nasional  diangkat  dan  diberhentikan  oleh
Presiden,   sedangkan   keanggotaan   Dewan   Pengupahan   Provinsi,   Kabupaten/Kota diangkat dan diberhentikan oleh Gubenur/ Bupati/Walikota
(4) Ketentuamengenai   tata   cara    pembentukankomposisi   keanggotaantata   cara
pengangkatan  dan  pemberhentian  keanggotaan,  serta  tugas  dan  tata  kerja  Dewan Pengupaha sebagaiman dimaksu dalam  ayat  (1)  dan  ayat  (2),  diatur  dengan Keputusan Presiden.

Bagian Ketiga
Kesejahteraan

Pasal 99
(1) Setiap  pekerja/buruh  dan  keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan sosial tenaga kerja.
(2) Jaminan  sosial  tenaga  kerja  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1),  dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 100
(1) Untuk  meningkatkan  kesejahteraan  bagi  pekerja/buruh  dan  keluarganya,  pengusaha
wajib menyediakan fasilitas kesejahteraan.
(2) Penyediaan    fasilitas    kesejahteraan    sebagaimana     dimaksud    dalam     ayat     (1),
dilaksanakan    dengan     memperhatikan     kebutuhan     pekerja/buruh     dan     ukuran kemampuan perusahaan.
(3) Ketentuan  mengenai  jenis  dan  kriteria  fasilitas  kesejahteraan  sesuai  dengan  kebutuhan
pekerja/buruh  dan  ukuran  kemampuan  perusahaan  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat
(1) dan ayat (2), diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 101
(1) Untu meningkatka kesejahteraa pekerja/buruh dibentu koperas pekerja/buruh
dan usaha-usaha produktif di perusahaan.
(2) Pemerintah,  pengusaha,  dan  pekerja/buruh  atau  serikat  pekerja/serikat  buruh  berupaya
menumbuhkembangkan  koperasi  pekerja/buruh,  dan  mengembangkan  usaha  produktif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Pembentukan  koperasi  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1),  dilaksanakan  sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Upaya-upaya     untuk    menumbuhkembangkan       koperasi      pekerja/buruh      sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XI HUBUNGAN INDUSTRIAL Bagian Kesatu
Umum

Pasal 102
(1) Dalam  melaksanakan  hubungan  industrial,  pemerintah  mempunyai  fungsi  menetapkan
kebijakan,   memberikan    pelayanan,   melaksanakan    pengawasan,   dan    melakukan penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
(2) Dalam  melaksanakan  hubungan  industrial,  pekerja/buruh  dan  serikat  pekerja/serikat buruhnya mempunyai                    fungsi        menjalankan                   pekerjaan    sesuai     dengan    kewajibannya, menjaga           ketertiban                 demi            kelangsungan                  produksi,     menyalurkan      aspirasi      secara demokratis,   mengembangka keterampilan da keahlianny sert iku memajukan perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya.
(3) Dala melaksanaka hubunga industrial pengusah da organisas pengusahanya mempunyai                              fungsi    menciptakan         kemitraan,     mengembang-kan     usaha,     memperluas lapangan        kerja,   dan                  memberikan   kesejahteraapekerja/buruh   secara          terbuka, demokratis, dan berkeadilan.

Pasal 103
Hubungan Industrial dilaksanakan melalui sarana :
a.  serikat pekerja/serikat buruh;
b.  organisasi pengusaha;
c.  lembaga kerja sama bipartit;
d.  embaga kerja sama tripartit;
e.  peraturan perusahaan;
f.    perjanjian kerja bersama;
g.   peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan; dan h.   lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Bagian Kedua
Serikat Pekerja/Serikat Buruh

Pasal 104
(1) Setiap  pekerja/buruh  berhak  membentuk  dan  menjadi  anggota  serikat  pekerja/serikat buruh.
(2) Dalam     melaksanakan      fungsi     sebagaimana     dimaksud     dalam    Pasal     102,    serikat
pekerja/serikat    buruh     ber-hak     menghimpun      dan     mengelola      keuangan      serta mempertanggungjawabkan keuangan organisasi termasuk dana mogok.
(3) Besarnya  dan  tata  cara  pemungutan  dana  mogok  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat (2)         diatur         dalam    ang-garan                  dasar    dan/atau   anggaran    rumah    tangga    serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan.

Bagian Ketiga
Organisasi Pengusaha

Pasal 105
(1) Setiap pengusaha berhak membentuk dan menjadi anggota organisasi pengusaha.
(2) Ketentuan     mengenai      organisasi      pengusaha     diatur     sesuai     dengan     peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Keempat
Lembaga Kerja Sama Bipartit

Pasal 106
(1) Setiap  perusahaan  yang  mempekerjakan  50  (lima  puluh)  orang  pekerja/  buruh  atau lebih wajib membentuk lembaga kerja sama bipartit.

(2) Lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi sebagai forum komunikasi, dan konsultasi mengenai hal ketenagakerjaan di perusahaan.
(3) Susunan  keanggotaan  lembaga  kerja  sama  bipartit  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat (2terdiri   dari       unsur            pengusaha     dan      unsur             pekerja/buruh    yang ditunjuk     oleh pekerja/buruh   secara   demokratis        untuk         mewakili kepentingan    pekerja/buruh            di perusahaan yang bersangkutan.
(4) Ketentuan  mengenai  tata  cara  pembentukan  dan  susunan  keanggotaan  lembaga  kerja
sama  bipartit  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1)  dan  ayat  (3)  diatur  dengan
Keputusan Menteri.

Bagian Kelima
Lembaga Kerja Sama Tripartit

Pasal 107
(1) Lembaga  kerja  sama  tripartit  memberikan  pertimbangan,  saran,  dan  pendapat  kepada pemerintah  da pihak  terkait  dalam  penyusunan  kebijakan  dan  pemecahan  masalah ketenagakerjaan.
(2) Lembaga Kerja sama Tripartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), terdiri dari :
a Lembaga Kerja sama Tripartit Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/ Kota; dan
b.  Lembaga Kerja sama Tripartit Sektoral Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.
(3) Keanggotaan  Lembaga  Kerja  sama  Tripartit  terdiri  dari  unsur  pemerintah,  organisasi pengusaha, dan seri-kat pekerja/serikat buruh.
(4) Tat kerj da susuna organisas Lembag Kerj sam Triparti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keenam
Peraturan Perusahaan

Pasal 108
(1) Pengusaha   yang    mempekerjakan   pekerja/buruh   sekurang-kurangnya    10    (sepuluh) orang  wajib  membuat  peraturan  perusahaan  yang  mulai  berlaku  setelah  disahkan  oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Kewajiban  membuat  peraturan  perusahaan  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1)
tidak berlaku bagi peru-sahaan yang telah memiliki perjanjian kerja bersama.

Pasal 109
Peraturan  perusahaan  disusun  oleh  dan  menjadi  tanggung  jawab  dari  pengusaha  yang
bersangkutan.

Pasal 110
(1) Peraturan  perusahaan  disusun  dengan  memperhatikan  saran  dan  pertimbangan  dari wakil pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
(2) Dalam  hal  di  perusahaan  yang  bersangkutan  telah  terbentuk  serikat  pekerja/serikat buru mak waki pe-kerja/buru sebagaiman dimaksu dala ayat  (1)  adalah pengurus serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Dalam  hal  di  perusahaan  yang  bersangkutan  belum  terbentuk  serikat  pekerja/serikat buruhwakil              pekerja/                buruh    sebagaimana   dimaksud   dalam    ayat    (1)    adalah
pekerja/buruh     yang    dipilih     secara     demokratis     untuk    mewakili     kepentingan    para pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.

Pasal 111
(1) Peraturan perusahaan sekurang-kurangnya memuat :
a hak dan kewajiban pengusaha;
b.  hak dan kewajiban pekerja/buruh;
c syarat kerja;
d.  tata tertib perusahaan; dan
e jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan.

(2) Ketentuan  dalam  peraturan  perusahaan  tidak  boleh  bertentangan  dengan  ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku.
(3) Masa berlaku peraturan perusahaan paling lama 2 (dua) tahun dan wajib diperbaharui setelah habis masa berlakunya.
(4) Selama  masa  berlakunya  peraturan  perusahaan,  apabila  serikat  pekerja/  serikat  buruh di  perusahaan  meng  hendaki  perundingan  pembuatan  perjanjian  kerja  bersama,  maka pengusaha wajib melayani.
(5) Dalam  hal  perundingan  pembuatan  perjanjian  kerja  bersama  sebagaimana  dimaksud dalam ayat (4)  tidak mencapai kesepakatan, maka peraturan perusahaan tetap berlaku sampai habis jangka waktu berlakunya.

Pasal 112
(1) Pengesahan   peraturan    perusahaan   oleh    Menteri    atau    pejabat    yang    ditunjuk sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal 108 ayat (1) harus sudah diberikan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak naskah peraturan perusahaan diterima.
(2) Apabila  peraturan  perusahaan  telah  sesuai  sebagaimana  ketentuan  dalam  Pasal  111 ayat  (1)  dan  ayat  (2),  maka  dalam  waktu  30  (tiga  puluh)  hari  kerja  sebagaimana
dimaksud  pada  ayat  (1)  sudah  terlampaui  dan  peraturan  perusahaan  belum  disahkan oleh  Menteri  atau  pejabat  yang  ditunjuk,  maka  peraturan  perusahaan  dianggap  telah mendapatkan pengesahan.
(3) Dalam  hal  peraturan  perusahaan belum  memenuhi  persyaratan  sebagaimana  dimaksud dalam  Pasal  111  ayat  (1)  dan  ayat  (2)  Menteri  atau  pejabat  yang  ditunjuk  harus
memberitahukasecara   tertulis   kepada   pengusaha   mengenai   perbaikan   peraturan perusahaan.
(4) Dalam  waktu  paling  lama  14  (empat  belas)  hari  kerja  sejak  tanggal  pemberitahuan diterima  ole pengusaha  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (3),  pengusaha  wajib menyampaikan  kembali  peratura perusahaan  yang  telah  diperbaiki  kepada  Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Pasal 113
(1) Perubahan  peraturan  perusahaan  sebelum  berakhir  jangka  waktu  berlakunya  hanya dapat dilakukan atas dasar kesepakatan antara pengusaha dan wakil pekerja/buruh.
(2) Peraturan  perusahaan  hasil  perubahan  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1)  harus mendapat pengesa-han dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Pasal 114
Pengusaha     wajib     memberitahukan      dan    menjelaskan      isi     serta     memberikan     naskah
peraturan perusahaan atau perubahannya kepada pekerja/buruh.

Pasal 115
Ketentuan  mengenai  tata  cara  pembuatan  dan  pengesahan  peraturan  perusahaan  diatur dengan Keputusan Menteri.

Bagian Ketujuh
Perjanjian Kerja Bersama

Pasal 116
(1) Perjanjian  kerja  bersama  dibuat  oleh  serikat  pekerja/serikat  buruh  atau  beberapa serikat  pekerja/serikat buruh yang telah tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha.
(2) Penyusunan   perjanjian    kerja    bersama    sebagaimana   dimaksud   dalam   ayat    (1)
dilaksanakan secara musya-warah.
(3) Perjanjian  kerja  bersama  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1)  harus  dibuat  secara tertulis dengan huruf latin dan menggunakan bahasa Indonesia.
(4) Dalam  hal  terdapat  perjanjian  kerja  bersama  yang  dibuat  tidak  menggunakan  bahasa
Indonesia, maka per-janjian kerja bersama tersebut harus diterjemahkan dalam bahasa

Indonesioleh    penerjemah   tersumpah   dan   terjemahan   tersebut   dianggap   sudah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).

Pasal 117
Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (2) tidak mencapai kesepakatan,  maka  penyelesaiannya  dilakukan  melalui  prosedur  penyelesaian  perselisihan hubungan industrial.

Pasal 118
Dalam  1  (satu)  perusahaan  hanya  dapat  dibuat  1  (satu)  perjanjian  kerja  bersama  yang berlaku bagi seluruh pekerja/buruh di perusahaan.

Pasal 119
(1) Dalam hal di satu perusahaan hanya terdapat satu serikat pekerja/serikat buruh, maka
serikat    pekerja/seri-kat    buruh    tersebut    berhak   mewakili    pekerja/burudalam perundingan  pembuatan  perjanjian  kerja  bersama  dengan  pengusaha  apabila  memiliki jumlah   anggota             lebih            dari       50%              (lima         puluperseratus)                dari        jumlah          seluruh pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
(2) Dala ha d sat perusahaa hany terdapa sat serika pekerja/serika buruh
sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  tetapi  tidak  memiliki  jumlah  anggota  lebih  dari
50%  (lima  puluh  perseratus)  dari  jumlah  seluruh  pekerja/buruh  di  perusahaan  maka serikat  pekerja/serikat  buruh  dapat  mewakili  pekerja/buruh  dalam  perundingan  dengan
pengusaha  apabila  serikat  pekerja/serikat  buruh  yang  bersangkutan  telah  mendapat dukungan  lebi 50%  (lima  puluh  perseratus)  dari  jumlah  seluruh  pekerja/buruh  di perusahaan melalui pemungutan suara.
(3) Dalam  hal  dukungan  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (2)  tidak  tercapai  maka serikat     pekerja/serikat               buruh                 yang      bersangkutan               dapat    mengajukan    kembali
permintaan  untuk  merundingkan  perjanjian  kerja  bersama  dengan  pengusaha  setelah melampau jangk waktu  6  (enam)  bulan  terhitung  sejak  dilakukannya  pemungutan suara dengan mengikuti prosedur sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).

Pasal 120
(1)  Dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh maka  yang  berhak  mewakili  pekerja/buruh  melakukan  perundingan  dengan  pengusaha yang  jumlah  keanggotaannya  lebi dari  50%  (lima  puluh  perseratus)  dari  seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut.
(2)  Dalam  hal  ketentuan  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1)  tidak  terpenuhi,  maka
serikat  pekerja/serikat  buruh  dapat  melakukan  koalisi  sehingga  tercapai  jumlah  lebih dari  50%  (lim puluh  perseratus)  dari  seluruh  jumlah  pekerja/buruh  di  perusahaan tersebut untuk mewakili dalam perundingan dengan pengusaha.
(3)  Dalam  hal  ketentuan  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1)  atau  ayat  (2)  tidak terpenuhi,  maka  para  seri-kat  pekerja/serikat  buruh  membentuk  tim  perunding  yang
keanggotaannya  ditentukan  secara  proporsional  berdasarkan  jumlah  anggota  masing- masing serikat pekerja/serikat buruh.

Pasal 121
Keanggotaan  serikat  pekerja/serikat  buruh  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  119  dan
Pasal 120 dibuktikan dengan kartu tanda anggota.

Pasal 122
Pemungutan  suara  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  119  ayat (2) diselenggarakan oleh panitia  yan terdiri  dari  wakil-wakil  pekerja/buruh  dan  pengurus  serikat  pekerja/serikat
buruh    yang    disaksikan     oleh     pihak    pejabat     yang    bertanggung     jawab     di    bidang ketenagakerjaan dan pengusaha.

Pasal 123
(1) Masa berlakunya perjanjian kerja bersama paling lama 2 (dua) tahun.

(2) Perjanjian  kerja  bersama  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1)  dapat  diperpanjang masa  berlakunya  pa-ling  lama  1  (satu)  tahun  berdasarkan  kesepakatan  tertulis  antara pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Perundinga pembuata perjanjia kerj bersam berikutny dapa dimula paling
cepat  3  (tiga)  bulan  se-belum  berakhirnya  perjanjian  kerja  bersama  yang  sedang berlaku.
(4) Dalam    hal    perundingan     sebagaimana     dimaksud    dalam    ayat    (3)    tidak    mencapai
kesepakatan maka perjan-jian kerja bersama yang sedang berlaku, tetap berlaku untuk paling lama 1 (satu) tahun.

Pasal 124 (1) Perjanjian kerja bersama paling sedikit memuat :
a hak dan kewajiban pengusaha;
b.  hak dan kewajiban serikat pekerja/serikat buruh serta pekerja/buruh;
c jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya perjanjian kerja bersama; dan d.   tanda tangan para pihak pembuat perjanjian kerja bersama.
e Ketentuadalam   perjanjian   kerja   bersama   tidak   boleh   bertentangadengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dalam  hal  isi  perjanjian  kerja  bersama  bertentangan  dengan  peraturan  perundang-
undangan  yang  berlaku  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (2),  maka  ketentuan  yang bertentanga tersebut  batal  demi  hukum  dan  yang  berlaku  adalah  ketentuan  dalam peraturan perundang-undangan.

Pasal 125
Dalam  hal  kedua  belah  pihak  sepakat  mengadakan  perubahan  perjanjian  kerja  bersama, maka  perubahan  tersebut  merupakan  bagian  yang  tidak  terpisahkan  dari  perjanjian  kerja bersama yang sedang berlaku.

Pasal 126
(1) Pengusaha,   serikat   pekerja/serikat   buruh   dan   pekerja/buruh   wajib   melaksanakan ketentuan yang ada da-lam perjanjian kerja bersama.
(2) Pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan isi perjanjian kerja
bersama atau peru-bahannya kepada seluruh pekerja/ buruh.
(3) Pengusaha  harus  mencetak  dan  membagikan  naskah  perjanjian  kerja  bersama  kepada
setiap pekerja/ buruh atas biaya perusahaan.

Pasal 127
(1) Perjanjian   kerja    yang    dibuat   oleh    pengusaha   dan   pekerja/buruh   tidak   boleh bertentangan dengan perjanjian kerja bersama.
(2) Dalam  hal  ketentuan  dalam  perjanjian  kerja  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1) bertentangan  dengan perjanjian kerja bersama, maka ketentuan dalam perjanjian kerja tersebut batal demi hukum  dan  yang berlaku adalah ketentuan dalam perjanjian kerja bersama.

Pasal 128
Dalam hal perjanjian kerja tidak memuat aturan-aturan yang diatur dalam perjanjian kerja bersama maka yang berlaku adalah aturan-aturan dalam perjanjian kerja bersama.

Pasal 129
(1) Pengusaha  dilarang  mengganti  perjanjian  kerja  bersama  dengan  peraturan  perusahaan, selama di perusa-haan yang bersangkutan masih ada serikat pekerja/serikat buruh.
(2) Dalam  hal  di  perusahaan  tidak  ada  lagi  serikat  pekerja/serikat  buruh  dan  perjanjian
kerja  bersama  diganti  dengan  peraturan  perusahaan,  maka  ketentuan  yang  ada  dalam peratura perusahaa tida bole lebi renda dar ketentua yan ad dalam perjanjian kerja bersama.

Pasal 130
(1) Dalam  hal  perjanjian  kerja  bersama  yang  sudah  berakhir  masa  berlakunya  akan
diperpanjang  atau  diper-baharui  dan  di  perusahaan  tersebut  hanya  terdapat  1  (satu) serikat             pekerja/serikat   buruh,   maka   perpanjangan   atau   pembuatan   pembaharuan perjanjian kerja bersama tidak mensyaratkan ketentuan dalam Pasal 119.
(2) Dalam  hal  perjanjian  kerja  bersama  yang  sudah  berakhir  masa  berlakunya  akan diperpanjang atau  diper-baharui dan di perusahaan tersebut terdapat lebih dari 1 (satu)
serikat  pekerja/serikat  buruh  dan  serikat  pekerja/serikat  buruh  yang  dulu  berunding tidak lagi  memenuhi ketentuan Pasal 120 ayat (1), maka perpanjangan atau pembuatan pembaharuan  perjanjia kerja  bersama  dilakukan  oleh  serikat  pekerja/serikat  buruh yang  anggotanya  lebih  50%  (lima  puluh  perseratus)  dari  jumlah  seluruh  pekerja/buruh d perusahaa bersama-sama  dengan  serika pekerja/serika buruh  yang  membuat perjanjian    kerja    bersama    terdahulu   dengan    membentuk     tim    perunding     secara proporsional.
(3) Dalam  hal  perjanjian  kerja  bersama  yang  sudah  berakhir  masa  berlakunya  akan diperpanjang atau  diper-baharui dan di perusahaan tersebut terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/ serikat buruh dan  tidak satupun serikat pekerja/serikat buruh yang ada memenuhi         ketentuan        Pasal    120      ayat     (1),                   maka          perpanjangan          atapembuatan pembaharuan  perjanjian  kerja  bersama  dilakukan  menurut  ketentuan  Pasal  120  ayat (2) dan ayat (3).

Pasal 131
(1) Dalam     hal    terjadi     pembubaran     serikat    pekerja/serikat   buruh    atau    pengalihan kepemilikan              perusahaan     maka           perjanjian   kerja    bersama    tetap   berlaku   sampai berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja bersama.
(2) Dalam  hal  terjadi  penggabungan  perusahaan  (merger)  dan  masing-masing  perusahaan mempunya perjan-jian  kerja  bersama  maka  perjanjian  kerja  bersama  yang  berlaku
adalah perjanjian kerja bersama yang lebih menguntungkan pekerja/buruh.
(3) Dalam    hal    terjadi     penggabungan     perusahaan     (merger)     antara     perusahaan     yang
mempunya perjanjia kerj bersam denga perusahaa yan belu mempunyai perjanjian kerja    bersama                  maka   perjanjian kerja    bersama     tersebut         berlaku                      bagi perusahaan                       yang     bergabung   (merger)   sampai    dengan   berakhirnyjangka   waktu perjanjian kerja bersama.

Pasal 132
(1) Perjanjian  kerja  bersama  mulai  berlaku  pada  hari  penandatanganan  kecuali  ditentukan lain dalam perjanjian kerja bersama tersebut.
(2) Perjanjian  kerja  bersama  yang  ditandatangani  oleh  pihak  yang  membuat  perjanjian kerja           bersama            selan-jutnya                      didaftarkan     oleh     pengusaha      pada    instansi      yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

Pasal 133
Ketentuan mengenai persyaratan serta tata cara pembuatan, perpanjangan, perubahan, dan pendaftaran perjanjian kerja bersama diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 134
Dalam    mewujudkan     pelaksanaan     hak   dan   kewajiban   pekerja/buruh   dan   pengusaha,
pemerintah   wajib    melaksanakan   pengawasan   dan   penegakan   peraturan   perundang- undangan ketenagakerjaan.

Pasal 135
Pelaksanaan     peraturan     perundang-undangan   ketenagakerjaan    dalam     mewujudkan
hubungan     industrial      merupakan    tanggung    jawab     pekerja/buruh,    pengusaha,    dan pemerintah.

Bagian Kedelapan
Lembaga Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial

Paragraf 1
Perselisihan Hubungan Industrial

Pasal 136
(1) Penyelesaian  perselisihan  hubungan  industrial  wajib  dilaksanakan  oleh  pengusaha  dan
pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh secara musyawarah untuk mufakat.
(2) Dalam  hal  penyelesaian  secara  musyawarah  untuk  mufakat  sebagaimana  dimaksud
dalam  ayat  (1)  tidak  tercapai,  maka  pengusaha  dan  pekerja/  buruh  atau  serikat pekerja/serikat                           buruh     menyelesaikan       perselisihan       hubungan      industrial      melalui prosedur  penyelesaian  perselisihan  hubungan  industrial  yang  diatur  dengan  undang- undang.

Paragraf 2
Mogok Kerja

Pasal 137
Mogok kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dilakukan
secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan.

Pasal 138
(1) Pekerja/buruh   dan/atau   serikat   pekerja/serikat   buruh    yang   bermaksud   mengajak pekerja/buruh  lain  untuk  mogok  kerja  pada  saat  mogok  kerja  berlangsung dilakukan dengan tidak melanggar hukum.
(2) Pekerja/buruh yang diajak mogok kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat memenuhi atau tidak memenuhi ajakan tersebut.

Pasal 139
Pelaksanaan        mogok     kerja      bagi             pekerja/buruyanbekerja     pada    perusahaa yang melayani                    kepentingan       umum       dan/atau      perusahaan       yang       jenis       kegiatan-nya membahayakan                    keselamatan           jiwa      manusia     diatur    sedemikian     rupa     sehingga     tidak mengganggu kepentingan umum dan/atau membahayakan keselamatan orang lain.

Pasal 140
(1) Sekurang-kurangnya    dalam   waktu   7    (tujuh)   hari    kerja   sebelum    mogok   kerja dilaksanakan,  pekerja/buruh  dan  serikat  pekerja/serikat  buruh  wajib  memberitahukan
secara  tertulis  kepada  pengusaha  dan  instansi  yang  bertanggung  jawab  di  bidang ketenagakerjaan setempat.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat :
a waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri mogok kerja;
b.  tempat mogok kerja;
c alasan dan sebab-sebab mengapa harus melakukan mogok kerja; dan
d.  tanda  tangan  ketua  dan  sekretaris  dan/atau  masing-masing  ketua  dan  sekretaris
serikat pekerja/serikat buruh sebagai penanggung jawab mogok kerja.
(3) Dala ha mogo kerj aka dilakuka ole pekerja/buru yan tida menjadi anggota  serika pekerja/  serikat  buruh,  maka  pemberitahuan  sebagaimana  dimaksud
dalam  ayat  (2)  ditandatangani  oleh  perwakilan  pekerja/buruh  yang  ditunjuk  sebagai koordinator dan/atau penanggung jawab mogok kerja.
(4) Dalam hal mogok kerja dilakukan tidak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka demi menyelamat  kan alat produksi dan aset perusahaan, pengusaha dapat mengambil tindakan sementara dengan cara :
a melarang  para  pekerja/buruh  yang  mogok  kerja  berada  di  lokasi  kegiatan  proses produksi; atau
b.  bila  dianggap  perlu  melarang  pekerja/buruh  yang  mogok  kerja  berada  di  lokasi perusahaan.

Pasal 141
(1) Instansi  pemerintah  dan  pihak  perusahaan  yang  menerima  surat  pemberitahuan  mogok
kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 wajib memberikan tanda terima.
(2) Sebelum  dan  selama  mogok  kerja  berlangsung,  instansi  yang  bertanggung  jawab  di
bidang  ketenagakerjaan  wajib  menyelesaikan  masalah  yang  menyebabkan  timbulnya pemogoka dengan  mempertemukan  dan  merundingkannya  dengan  para  pihak  yang berselisih.
(3) Dalam     hal     perundingan     sebagaimana      dimaksud    dalam     ayat     (2)    menghasilkan kesepakatan,  maka  harus  dibuatkan perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak  dan  pegawai  dari  instansi  yang  bertanggung  jawab  di  bidang  ketenagakerjaan sebagai saksi.
(4) Dalam  hal  perundingan  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (2)  tidak  menghasilkan
kesepakatan,   maka    pegawai    dari    instansi    yang    bertanggung     jawab    di   bidang ketenagakerjaan  segera  menyerahkan  masalah  yang  menyebabkan  terjadinya  mogok kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berwenang.
(5) Dalam     hal    perundingan     tidak    menghasilkan     kesepakatan     sebagaimana     dimaksud dala aya (4) mak ata dasa perundinga antar pengusah denga serikat
pekerja/serika buru ata penanggun jawa mogo kerja mogo kerj dapat diteruskan atau dihentikan untuk sementara atau dihentikan sama sekali.

Pasal 142
(1) Mogok kerja yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 139 dan Pa-sal 140 adalah mogok kerja tidak sah.
(2) Akibat hukum dari mogok kerja yang tidak sah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
akan diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 143
(1) Siapapun  tidak  dapat  menghalang-halangi  pekerja/buruh  dan  serikat  pekerja/serikat buruh  untuk  mengguna  kan  hak  mogok  kerja  yang  dilakukan  secara  sah,  tertib,  dan damai.
(2) Siapapun     dilarang     melakukan     penangkapan     dan/atau     penahanan     terhadap pekerja/buruh  dan  pengurus  serikat  pekerja/serikat  buruh  yang  melakukan  mogok
kerja secara sah, tertib, dan damai sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 144
Terhadap  mogok  kerja  yang  dilakukan  sesuai  dengan  ketentuan  sebagaimana  dimaksud
dalam Pasal 140, pengusaha dilarang :
a.  menggant pekerja/buru yan mogo kerj denga pekerja/buru lai dar luar
perusahaan; atau
b.  memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apapun kepada pekerja/buruh dan  penguru serikat  pekerja/serikat  buruh  selama  dan  sesudah  melakukan  mogok
kerja.

Pasal 145
Dalam  hal  pekerja/buruh  yang  melakukan  mogok  kerja  secara  sah  dalam  melakukan tuntuta ha normati yan sungguh-sungguh  dilanggar  oleh  pengusaha,  pekerja/buruh
berhak mendapatkan upah.

Paragraf 3
Penutupan Perusahaan (lock-out)

Pasal 146
(1) Penutupan  perusahaan  (lock  out)  merupakan  hak  dasar  pengusaha  untuk  menolak
pekerja/buruh  sebagian  atau  seluruhnya  untuk  menjalankan  pekerjaan  sebagai  akibat gagalnya perundingan.

(2) Pengusah tida dibenarka melakuka penutupan  perusahaan  (lock  out)  sebagai tindakan  balasa sehubungan  adanya  tuntutan  normatif  dari  pekerja/buruh  dan/atau serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Tindakan  penutupan  perusahaan  (lock  out)  harus  dilakukan  sesuai  dengan  ketentuan
hukum yang berlaku.

Pasal 147
Penutupan  perusahaan  (lock  out)  dilarang  dilakukan  pada  perusahaan-perusahaan  yang melayan kepentingan  umum  dan/atau  jenis  kegiatan  yang  membahayakan  keselamatan jiw manusia meliput ruma sakit pelayana jaringa ai bersih pusa pengendali telekomunikasi,  pusat  penyedi tenaga  listrik,  pengolahan  minyak  dan  gas  bumi,  serta kereta api.

Pasal 148
(1) Pengusaha   wajib   memberitahukan   secara   tertulis   kepada   pekerja/buruh   dan/atau serikat              pekerja/serikaburuh,   serta   instansi   yang   bertanggung   jawab   di          bidang ketenagakerjaan  setempat  sekurang-kurangnya  7  (tujuh)  hari  kerja  sebelum  penutupan perusahaan (lock out) dilaksanakan.
(2) Pemberitahuan  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1)  sekurang-kurangnya  memuat  :
a.  waktu  (hari,  tanggal,  dan  jam)  dimulai  dan  diakhiri  penutupan  perusahaan  (lock out); dan
b. alasan dan sebab-sebab melakukan penutupan perusahaan (lock out).
(3) Pemberitahuan  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1)  ditandatangani  oleh  pengusaha dan/atau pimpinan perusahaan yang bersangkutan.

Pasal 149
(1) Pekerja/buruh  atau  serikat  pekerja/serikat  buruh  dan  instansi  yang  bertanggung  jawab
di    bidang    ketenaga-kerjaa yan menerim secar langsun sura pemberitahuan penutupa perusahaa (loc out sebagaiman dimaksu dala Pasa 14 harus memberikan  tanda  bukt penerimaan  dengan  mencantumkan  hari,  tanggal,  dan  jam penerimaan.
(2) Sebelum  dan  selama  penutupan  perusahaan  (lock  out)  berlangsung,  instansi  yang
bertanggun jawa d bidan ketenagakerjaa berwenan langsun menyelesaikan masalah    yang                menyebabkan               timbulnya     penutupan    perusahaan   (lock   out)   dengan mempertemukan dan merundingkannya dengan para pihak yang berselisih.
(3) Dalam     hal     perundingan     sebagaimana      dimaksud    dalam     ayat     (2)    menghasilkan kesepakatan,  maka  harus  dibuat  perjanjian  bersama  yang  ditandatangani  oleh  para
pihak  dan  pegawai  dari  instansi  yang  bertanggung  jawab  di  bidang  ketenagakerjaan sebagai saksi.
(4) Dalam  hal  perundingan  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (2)  tidak  menghasilkan kesepakatan,        maka                       pegawai        dari instansi       yang         bertanggung   jawab    di   bidang ketenagakerjaan                       segera   menyerahkan       masalah    yang    menyebabkan      terjadinya penutupan  perusahaan  (lock  out)  kepada  lembaga  penyelesaian  perselisihan  hubungan industrial.
(5) Apabila  perundingan  tidak  menghasilkan  kesepakatan  sebagaimana  dimaksud  dalam ayat  (4),  maka  atas  dasar  perundingan  antara  pengusaha  dan  serikat  pekerja/serikat buruh penutupa perusahaa (loc out dapa diteruska ata dihentika untuk sementara atau dihentikan sama sekali.
(6) Pemberitahuan  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  148  ayat  (1)  dan  ayat  (2)  tidak
diperlukan apabila :
a pekerja/buruh  atau  serikat  pekerja/serikat  buruh  melanggar  prosedur  mogok  kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140;
b.  pekerja/buru ata serika pekerja/serika buru melangga ketentua normatif yang  ditentuka dalam  perjanjian  kerja,  peraturan  perusahaan,  perjanjian  kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB XII PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA

Pasal 150
Ketentuan    mengenai     pemutusan     hubungan    kerja    dalam    undang-undang    ini    meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik  orang  perseorangan,  milik  persekutuan  atau  milik  badan  hukum,  baik  milik  swasta maupun  milik  negara,  maupun  usaha-usaha  sosial  dan  usaha-usaha  lain  yang  mempunyai pengurus  dan  mempekerjakan  orang  lain  denga membayar  upah  atau  imbalan  dalam bentuk lain.

Pasal 151
(1) Pengusahapekerja/buruh,   serikat   pekerja/serikat   buruh,   dan   pemerintah,   dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.
(2) Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari,         maka                      maksud pemutusan hubungan      kerja       wajidirundingkan oleh pengusaha                dan      serikat                  pekerja/serikat buruh               atau       dengan     pekerja/buruh          apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Dalam  hal  perundingan  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (2)  benar-benar  tidak
menghasilkan     persetu-juan,     pengusaha     hanya dapat       memutuskan     hubungan    kerja dengan              pekerja/buruh   setelah   memperoleh   penetapan            dari    lembaga     penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Pasal 152
(1) Permohonan  penetapan  pemutusan  hubungan  kerja  diajukan  secara  tertulis  kepada lembag penyelesaian  perselisihan  hubungan  industrial  disertai  alasan  yang  menjadi dasarnya.
(2) Permohonan  penetapan  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1)  dapat  diterima  oleh lembaga   penyelesaian                perselisihan       hubungan       industrial      apabila       telah       dirundangkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2).
(3) Penetapan  atas  permohonan  pemutusan  hubungan  kerja  hanya  dapat  diberikan  oleh lembag penyelesaia perselisiha hubunga industria jik ternyat maksu untuk
memutuska hubunga kerj tela dirundingkan tetap perundinga tersebu tidak menghasilkan kesepakatan.

Pasal 153
(1) Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan :
a pekerja/buruh  berhalangan  masuk  kerja  karena  sakit  menurut  keterangan  dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;
b.  pekerja/buruh berhalangan              menjalankan        pekerjaannya        karena       memenuhi kewajiban      terhadap                   negara       sesuai    dengan             ketentuan      peraturan   perundang- undangan yang berlaku;
c pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
d.  pekerja/buruh menikah;
e pekerja/buru perempua hamil melahirkan gugu kandungan ata menyusui bayinya;
f.    pekerja/buruh   mempunyai   pertalia dara dan/ata ikata perkawina dengan
pekerja/buru lainny d dala sat perusahaan kecual tela diatu dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama;
g pekerja/buruh    mendirikan,     menjadi     anggota     dan/atau     pengurus     serikat pekerja/serika buruh pekerja/buru melakuka kegiata serika pekerja/serikat buruh di luar  jam  kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan  ketentuan  yang  diatur  dalam  perjanjian  kerja,  peraturan  perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
h pekerja/buruyang   mengadukapengusaha   kepada   yang   berwajib   mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;

i.    karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
j.    pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena  hubungan  kerja  yang  menurut  surat  keterangan  dokter  yang  jangka  waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
(2)  Pemutusan  hubungan  kerja  yang  dilakukan  dengan  alasan  sebagaimana  dimaksud dalam  aya (1)  batal  demi  hukum  dan  pengusaha  wajib  mempekerjakan  kembali
pekerja/buruh yang bersangkutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar