DIUNDUH OLEH
S. MIHARJA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 13
TAHUN 2003
TENTANG KETENAGAKERJAAN
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG
MAHA ESA PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a.
bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia
Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan
masyarakat yang sejahtera,
adil, makmur,
yang merata,
baik materiil
maupun spiritual berdasarkan
Pancasila dan Undang
Undang Dasar
Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b.
bahwa dalam
pelaksanaan pembangunan nasional,
tenaga kerja
mempunyai peranan
dan kedudukan
yang sangat penting
sebagai pelaku dan
tujuan pembangunan;
c.
bahwa sesuai
dengan peranan
dan kedudukan
tenaga kerja,
diperlukan pembangunan
ketenagakerjaan untuk
meningkatkan kualitas tenaga
kerja
dan peransertanya
dalam pembangunan serta
peningkatan perlindungan tenaga
kerja dan
keluarganya sesuai dengan harkat
dan martabat kemanusiaan;
d. bahwa perlindungan
terhadap tenaga
kerja dimaksudkan
untuk menjamin
hak hak
dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan
kesempatan serta perlakuan tanpa
diskriminasi atas dasar
apapun
untuk mewujudkan
kesejahteraan pekerja/buruh dan
keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia
usaha;
e.
bahwa beberapa
undang undang
di bidang
ketenagakerjaan dipandang sudah
tidak
sesuai lagi dengan kebutuhan
dan tuntutan pembangunan ketenagakerjaan, oleh karena
itu
perlu dicabut dan/atau
ditarik kembali;
f. bahwa
berdasarkan
pertimbangan sebagaimana tersebut pada
huruf a,
b, c,
d, dan
e
perlu membentuk Undang undang tentang
Ketenagakerjaan;
Mengingat :
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28, dan Pasal 33 ayat (1)
Undang Undang
Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
Dengan persetujuan bersama
antara
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA
DAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN : Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG KETENAGAKERJAAN.
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam undang-undang
ini yang dimaksud
dengan :
1. Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama,
dan sesudah masa
kerja.
2. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau
jasa baik
untuk memenuhi
kebutuhan sendiri maupun
untuk masyarakat.
3. Pekerja/buruh
adalah setiap
orang yang
bekerja dengan
menerima upah
atau imbalan
dalam bentuk lain.
4. Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang
mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain.
5. Pengusaha
adalah :
a.
orang
perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu
perusahaan milik
sendiri;
b. orang perseorangan,
persekutuan, atau badan
hukum yang
secara berdiri
sendiri
menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perseorangan,
persekutuan, atau
badan hukum
yang berada
di Indonesia
mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang
berkedudukan di luar wilayah
Indonesia.
6. Perusahaan adalah :
a.
setiap bentuk
usaha yang
berbadan hukum
atau tidak,
milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau
milik badan
hukum, baik
milik swasta
maupun milik
negara yang mempekerjakan
pekerja/buruh dengan membayar
upah atau
imbalan dalam bentuk
lain;
b.
usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan
orang lain dengan
membayar upah
atau imbalan
dalam bentuk
lain.
7. Perencanaan
tenaga kerja
adalah proses
penyusunan rencana ketenagakerjaan
secara
sistematis
yang dijadikan
dasar dan
acuan dalam
penyusunan kebijakan, strategi,
dan pelaksanaan program
pembangunan ketenagakerjaan yang
berkesinambungan.
8. Informasi ketenagakerjaan adalah gabungan, rangkaian, dan analisis data yang berbentuk angka yang
telah diolah,
naskah dan
dokumen yang
mempunyai arti, nilai
dan
makna tertentu mengenai
ketenagakerjaan.
9. Pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh,
meningkatkan, serta
mengembangkan kompetensi kerja,
produktivitas, disiplin, sikap,
dan
etos kerja pada tingkat
keterampilan dan keahlian tertentu sesuai dengan jenjang
dan
kualifikasi jabatan atau pekerjaan.
10. Kompetensi
kerja adalah
kemampuan kerja setiap
individu yang
mencakup aspek
pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang sesuai dengan standar yang ditetapkan.
11. Pemagangan
adalah bagian
dari sistem
pelatihan kerja
yang diselenggarakan
secara terpadu antara pelatihan
di lembaga
pelatihan dengan
bekerja secara
langsung di
bawah bimbingan dan pengawasan instruktur atau pekerja/buruh yang lebih
berpengalaman, dalam proses
produksi barang
dan/atau jasa
di perusahaan,
dalam rangka menguasai keterampilan atau keahlian
tertentu.
12. Pelayanan penempatan tenaga
kerja adalah
kegiatan untuk
mempertemukan tenaga kerja dengan
pemberi
kerja, sehingga tenaga kerja dapat memperoleh pekerjaan yang
sesuai dengan bakat, minat,
dan kemampuannya, dan pemberi kerja dapat memperoleh tenaga kerja yang
sesuai dengan kebutuhannya.
13. Tenaga kerja asing adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja
di wilayah
Indonesia.
14. Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi
kerja yang memuat
syarat syarat kerja,
hak, dan kewajiban
para pihak.
15. Hubungan
kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan
perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah,
dan perintah.
16. Hubungan industrial
adalah suatu
sistem
hubungan yang terbentuk
antara para
pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha,
pekerja/buruh, dan pemerintah
yang didasarkan
pada nilai
nilai Pancasila
dan Undang
Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
17. Serikat
pekerja/serikat buruh adalah
organisasi yang dibentuk
dari, oleh,
dan untuk
pekerja/buruh baik di
perusahaan maupun di
luar perusahaan,
yang bersifat
bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan,
membela serta
melindungi
hak dan
kepentingan pekerja/buruh serta
meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan
keluarganya.
18. Lembaga kerja
sama bipartit
adalah forum
komunikasi dan konsultasi
mengenai hal- hal
yang berkaitan
dengan hubungan
industrial di satu
perusahaan yang anggotanya terdiri dari
pengusaha dan serikat
pekerja/ serikat
buruh yang
sudah tercatat
instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan atau unsur
pekerja/buruh.
19. Lembaga
kerja sama
tripartit adalah
forum komunikasi,
konsultasi dan musyawarah
tentang masalah ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri dari unsur organisasi
pengusaha, serikat
pekerja/serikat buruh, dan
pemerintah.
20. Peraturan perusahaan adalah
peraturan yang dibuat
secara tertulis
oleh pengusaha
yang memuat syarat syarat
kerja dan tata tertib
perusahaan.
21. Perjanjian
kerja bersama
adalah perjanjian
yang merupakan
hasil perundingan
antara
serikat
pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat
pada instansi yang
bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan dengan
pengusaha, atau beberapa
pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang
memuat syarat
syarat kerja, hak
dan kewajiban kedua
belah pihak.
22. Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan
pertentangan antara pengusaha
atau gabungan
pengusaha dengan pekerja/buruh
atau serikat pekerja/serikat
buruh karena
adanya perselisihan
mengenai hak,
perselisihan kepentingan, dan perselisihan pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antar
serikat pekerja/serikat buruh hanya
dalam satu perusahaan.
23. Mogok
kerja adalah
tindakan pekerja/buruh
yang direncanakan
dan dilaksanakan
secara bersama-sama
dan/atau oleh
serikat pekerja/serikat
buruh untuk
menghentikan atau memperlambat pekerjaan.
24. Penutupan perusahaan (lock out) adalah tindakan pengusaha untuk menolak pekerja/buruh seluruhnya atau sebagian
untuk menjalankan pekerjaan.
25. Pemutusan
hubungan kerja
adalah pengakhiran
hubungan kerja
karena suatu
hal
tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan
pengusaha.
26. Anak adalah
setiap orang yang
berumur dibawah 18
(delapan belas) tahun.
27. Siang hari
adalah waktu antara
pukul 06.00 sampai
dengan pukul 18.00.
28. 1 (satu) hari
adalah waktu selama
24 (dua puluh
empat) jam.
29. Seminggu adalah
waktu selama 7
(tujuh) hari.
30. Upah
adalah hak
pekerja/buruh yang diterima
dan dinyatakan
dalam bentuk
uang
sebagai
imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang
ditetapkan dan dibayarkan
menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan
perundang undangan, termasuk
tunjangan
bagi pekerja/buruh
dan keluarganya
atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang
telah atau akan
dilakukan.
31. Kesejahteraan
pekerja/buruh adalah suatu
pemenuhan kebutuhan dan/atau
keperluan
yang bersifat
jasmaniah dan rohaniah, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja,
yang secara langsung atau
tidak langsung
dapat mempertinggi
produktivitas kerja dalam lingkungan kerja yang aman
dan sehat.
32. Pengawasan ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi dan menegakkan
pelaksanaan peraturan
perundang undangan di bidang
ketenagakerjaan.
33. Menteri adalah
menteri yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.
BAB II
LANDASAN, ASAS, DAN
TUJUAN
Pasal 2
Pembangunan ketenagakerjaan berlandaskan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia
Tahun 1945.
Pasal 3
Pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan melalui
koordinasi fungsional lintas sektoral
pusat dan daerah.
Pembangunan ketenagakerjaan bertujuan :
Pasal 4
a. memberdayakan dan
mendayagunakan tenaga kerja
secara optimal dan
manusiawi;
b.
mewujudkan pemerataan kesempatan
kerja dan
penyediaan tenaga kerja
yang sesuai
dengan kebutuhan
pembangunan nasional dan
daerah;
c. memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan; dan
d. meningkatkan kesejahteraan tenaga
kerja dan keluarganya.
BAB III
KESEMPATAN DAN PERLAKUAN
YANG SAMA
Pasal 5
Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.
Pasal 6
Setiap pekerja/buruh
berhak memperoleh
perlakuan yang sama
tanpa diskriminasi
dari
pengusaha.
BAB IV PERENCANAAN TENAGA
KERJA DAN INFORMASI
KETENAGAKERJAAN
Pasal 7
(1) Dalam
rangka pembangunan
ketenagakerjaan, pemerintah menetapkan
kebijakan dan menyusun perencanaan tenaga kerja.
(2) Perencanaan tenaga kerja meliputi :
a.
perencanaan tenaga kerja makro;
dan b. perencanaan tenaga kerja
mikro.
(3) Dalam penyusunan kebijakan, strategi, dan pelaksanaan program pembangunan
ketenagakerjaan yang berkesinambungan, pemerintah harus berpedoman pada perencanaan tenaga
kerja sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1).
Pasal 8
(1) Perencanaan tenaga kerja
disusun atas
dasar informasi
ketenagakerjaan yang antara
lain
meliputi :
a.
penduduk
dan tenaga kerja;
b. kesempatan kerja;
c.
pelatihan
kerja termasuk kompetensi kerja;
d. produktivitas tenaga
kerja;
e.
hubungan
industrial;
f. kondisi lingkungan kerja;
g.
pengupahan dan kesejahteraan tenaga
kerja; dan h. jaminan
sosial tenaga kerja.
(2) Informasi ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diperoleh dari
semua pihak yang terkait,
baik instansi pemerintah maupun swasta.
(3)
Ketentuan
mengenai tata
cara memperoleh
informasi ketenagakerjaan
dan penyusunan
serta pelaksanaan perencanaan tenaga
kerja sebagaimana
dimaksud dalam
ayat (1)
diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB V PELATIHAN KERJA
Pasal 9
Pelatihan kerja diselenggarakan
dan diarahkan untuk membekali, meningkatkan, dan mengembangkan
kompetensi kerja guna
meningkatkan kemampuan, produktivitas,
dan kesejahteraan.
Pasal 10
(1) Pelatihan kerja dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan pasar kerja dan dunia
usaha, baik di
dalam maupun di
luar hubungan kerja.
(2) Pelatihan
kerja diselenggarakan
berdasarkan program pelatihan
yang mengacu
pada standar kompetensi kerja.
(3) Pelatihan kerja
dapat dilakukan secara
berjenjang.
(4) Ketentuan mengenai tata cara penetapan standar kompetensi
kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2)
diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 11
Setiap tenaga kerja berhak untuk memperoleh dan/atau meningkatkan dan/atau
mengembangkan kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya
melalui pelatihan
kerja.
Pasal 12
(1) Pengusaha
bertanggung jawab atas
peningkatan dan/atau pengembangan
kompetensi
pekerjanya melalui
pelatihan kerja.
(2) Peningkatan
dan/atau pengembangan
kompetensi sebagaimana dimaksud
dalam ayat
(1) diwajibkan bagi pengusaha yang memenuhi persyaratan yang diatur dengan
Keputusan Menteri.
(3) Setiap
pekerja/buruh memiliki kesempatan
yang sama
untuk mengikuti
pelatihan kerja
sesuai dengan
bi-dang tugasnya.
Pasal 13
(1) Pelatihan kerja diselenggarakan oleh lembaga pelatihan kerja pemerintah dan/atau
lembaga pelatihan kerja swasta.
(2) Pelatihan kerja
dapat diselenggarakan di
tempat pelatihan atau
tempat kerja.
(3) Lembaga
pelatihan kerja
pemerintah sebagaimana dimaksud
dalam ayat
(1) dalam
menyelenggarakan pe-latihan
kerja dapat bekerja
sama dengan swasta.
Pasal 14
(1) Lembaga pelatihan kerja swasta dapat berbentuk badan hukum Indonesia atau
perorangan.
(2) Lembaga pelatihan kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memperoleh izin atau
men daftar
ke instansi
yang bertanggung
jawab di
bidang ketenagakerjaan di
kabupaten/kota.
(3) Lembaga
pelatihan kerja
yang diselenggarakan
oleh instansi
pemerintah mendaftarkan kegiatannya kepada
instansi yang
bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan
di kabupaten/kota.
(4) Ketentuan
mengenai tata
cara perizinan
dan pendaftaran
lembaga pelatihan
kerja sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2)
dan ayat (3)
diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 15
Penyelenggara pelatihan
kerja wajib memenuhi
persyaratan :
a. tersedianya tenaga
kepelatihan;
b. adanya kurikulum
yang sesuai dengan
tingkat pelatihan;
c. tersedianya sarana dan prasarana pelatihan kerja; dan
d. tersedianya dana
bagi kelangsungan kegiatan
penyelenggaraan pelatihan kerja.
Pasal 16
(1) Lembaga
pelatihan kerja swasta
yang telah
memperoleh izin dan
lembaga pelatihan
kerja pemerintah yang telah
terdaftar dapat memperoleh
akreditasi dari lembaga
akreditasi.
(2) Lembaga
akreditasi sebagaimana dimaksud
dalam ayat
(1) bersifat
independen terdiri atas unsur
masya rakat dan
pemerintah ditetapkan dengan
Keputusan Menteri.
(3) Organisasi
dan tata
kerja lembaga
akreditasi sebagaimana dimaksud
dalam ayat
(2)
diatur dengan
Keputusan Menteri.
Pasal 17
(1) Instansi
yang bertanggung
jawab di
bidang ketenagakerjaan
di kabupaten/kota
dapat menghentikan
seme ntara
pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan
kerja, apabila
dalam pelaksanaannya ternyata
:
a. tidak sesuai
dengan arah
pelatihan kerja sebagaimana
dimaksud dalam
Pasal 9;
dan/atau
b. tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15.
(2) Penghentian sementara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), disertai alasan dan saran perbaikan dan berlaku paling lama
6 (enam) bulan.
(3) Penghentian
sementara pelaksanaan
penyelenggaraan pelatihan kerja
hanya dikenakan
terhadap program
pelatihan yang tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 dan
Pasal 15.
(4) Bagi penyelenggara pelatihan kerja dalam waktu 6 (enam)
bulan tidak memenuhi dan
melengkapi saran per baikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dikenakan sanksi
penghentian program pelatihan.
(5) Penyelenggara
pelatihan kerja
yang tidak
menaati dan
tetap melaksanakan
program pelatihan kerja
yang telah dihentikan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dikenakan
sanksi pencabutan izin dan
pembatalan pendaftaran penyelenggara pelatihan.
(6) Ketentuan
mengenai tata
cara penghentian sementara,
penghentian, pencabutan izin,
dan
pembatalan pendaftaran diatur
dengan Keputusan Menteri.
Pasal 18
(1) Tenaga kerja berhak memperoleh pengakuan kompetensi kerja setelah mengikuti
pelatihan
kerja yang
di selenggarakan
lembaga pelatihan
kerja pemerintah,
lembaga pelatihan kerja
swasta, atau pelatihan
di tempat kerja.
(2) Pengakuan
kompetensi kerja sebagaimana
dimaksud dalam
ayat (1)
dilakukan melalui
sertifikasi kompe tensi kerja.
(3) Sertifikasi
kompetensi kerja sebagaimana
dimaksud dalam
ayat (2)
dapat
pula diikuti
oleh tenaga
kerja yang telah
berpengalaman.
(4) Untuk
melaksanakan sertifikasi kompetensi
kerja dibentuk
badan nasional
sertifikasi
profesi yang
inde penden.
(5) Pembentukan badan nasional sertifikasi profesi yang independen sebagaimana
dimaksud dalam ayat (4)
diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 19
Pelatihan kerja bagi
tenaga kerja
penyandang cacat dilaksanakan
dengan memperhatikan
jenis, derajat kecacatan, dan kemampuan tenaga kerja penyandang cacat yang bersangkutan.
Pasal 20
(1)
Untuk mendukung peningkatan pelatihan kerja dalam rangka pembangunan ketenagakerjaan, dikembang
kan satu sistem pelatihan kerja nasional yang merupakan
acuan pelaksanaan pelatihan kerja
di semua bidang
dan/atau sektor.
(2) Ketentuan mengenai
bentuk, mekanisme,
dan kelembagaan
sistem pelatihan
kerja nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 21
Pelatihan kerja
dapat diselenggarakan dengan
sistem pemagangan.
Pasal 22
(1) Pemagangan
dilaksanakan atas dasar
perjanjian pemagangan antara peserta
dengan pengusaha yang di buat
secara tertulis.
(2) Perjanjian
pemagangan sebagaimana dimaksud
dalam ayat
(1), sekurang-kurangnya
memuat ketentuan hak dan
kewajiban peserta
dan pengusaha
serta jangka
waktu pemagangan.
(3) Pemagangan
yang diselenggarakan
tidak melalui
perjanjian pemagangan sebagaimana
dimaksud
dalam ayat
(1), dianggap
tidak sah
dan status
peserta berubah
menjadi pekerja/buruh perusahaan yang bersangkutan.
Pasal 23
Tenaga kerja yang telah mengikuti program pemagangan berhak atas pengakuan
kualifikasi kompetensi kerja dari perusahaan atau lembaga sertifikasi.
Pasal 24
Pemagangan
dapat dilaksanakan
di perusahaan
sendiri atau
di tempat
penyelenggaraan pelatihan kerja, atau
perusahaan lain, baik di dalam
maupun di luar
wilayah Indonesia.
Pasal 25
(1) Pemagangan
yang dilakukan
di luar
wilayah Indonesia
wajib mendapat
izin dari
Menteri atau
pejabat yang ditunjuk.
(2) Untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penyelenggara
pemagangan harus ber bentuk badan hukum Indonesia sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang
berlaku.
(3) Ketentuan mengenai tata cara perizinan pemagangan di luar wilayah Indonesia
sebagaimana
dimaksud dalam ayat
(1) dan ayat
(2), diatur dengan
Keputusan Menteri.
Pasal 26
(1) Penyelenggaraan pemagangan di luar wilayah
Indonesia harus memperhatikan :
a.
harkat
dan martabat bangsa
Indonesia;
b. penguasaan kompetensi yang
lebih tinggi; dan
c. perlindungan dan kesejahteraan peserta pemagangan, termasuk melaksanakan
ibadahnya.
(2) Menteri
atau pejabat
yang ditunjuk
dapat menghentikan pelaksanaan
pemagangan di luar wilayah Indo
nesia apabila
di dalam pelaksanaannya ternyata tidak sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1).
Pasal 27
(1) Menteri
dapat mewajibkan
kepada perusahaan
yang memenuhi
persyaratan untuk melaksanakan program
pemagangan.
(2) Dalam
menetapkan persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam
ayat (1),
Menteri harus
memperhatikan ke pentingan perusahaan, masyarakat, dan negara.
Pasal 28
(1) Untuk memberikan saran dan pertimbangan dalam penetapan kebijakan serta
melakukan
koordinasi pela tihan
kerja dan
pemagangan dibentuk lembaga
koordinasi pelatihan kerja nasional.
(2) Pembentukan, keanggotaan, dan tata kerja lembaga koordinasi pelatihan kerja sebagaimana dimaksud da lam
ayat (1), diatur
dengan Keputusan Presiden.
Pasal 29
(1) Pemerintah
Pusat dan/atau
Pemerintah Daerah melakukan
pembinaan pelatihan
kerja
dan pemagangan.
(2) Pembinaan
pelatihan kerja
dan pemagangan
ditujukan ke
arah peningkatan
relevansi, kualitas, dan efisien
si penyelenggaraan pelatihan
kerja dan produktivitas.
(3) Peningkatan
produktivitas sebagaimana dimaksud
dalam ayat
(2), dilakukan
melalui pengembangan buda ya produktif, etos kerja, teknologi, dan efisiensi kegiatan ekonomi, menuju
terwujudnya produktivitas nasional.
Pasal 30
(1) Untuk
meningkatkan produktivitas sebagaimana
dimaksud dalam
Pasal 29
ayat (2)
dibentuk lembaga
pro duktivitas yang
bersifat nasional.
(2) Lembaga produktivitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berbentuk jejaring
kelembagaan
pelayanan peningkatan
produktivitas, yang bersifat
lintas sektor
maupun daerah.
(3) Pembentukan, keanggotaan, dan tata kerja lembaga produktivitas nasional
sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1),
diatur dengan Keputusan Presiden.
BAB VI PENEMPATAN TENAGA
KERJA
Pasal 31
Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih,
mendapatkan,
atau pindah
pekerjaan dan
memperoleh penghasilan yang
layak di
dalam atau di luar negeri.
Pasal 32
(1) Penempatan
tenaga kerja
dilaksanakan berdasarkan asas
terbuka, bebas,
obyektif,
serta adil,
dan setara tanpa
diskriminasi.
(2) Penempatan
tenaga kerja
diarahkan untuk
menempatkan tenaga kerja
pada jabatan
yang
tepat sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan
dengan memperhatikan harkat, martabat, hak
asasi, dan perlindungan hukum.
(3) Penempatan tenaga kerja dilaksanakan dengan memperhatikan pemerataan
kesempatan
kerja dan
penye diaan
tenaga kerja
sesuai dengan
kebutuhan program
nasional dan daerah.
Penempatan tenaga kerja
terdiri dari :
Pasal 33
a. penempatan tenaga
kerja di dalam
negeri; dan b. penempatan tenaga kerja di luar
negeri.
Pasal 34
Ketentuan mengenai
penempatan tenaga kerja di luar negeri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33 huruf b diatur
dengan undang-undang.
Pasal 35
(1) Pemberi
kerja yang
memerlukan tenaga kerja
dapat merekrut
sendiri tenaga
kerja yang dibutuhkan atau melalui pelaksana
penempatan tenaga kerja.
(2) Pelaksana
penempatan tenaga kerja
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1)
wajib memberikan perlindu
ngan sejak rekrutmen sampai penempatan tenaga
kerja
(3) Pemberi
kerja sebagaimana
dimaksud dalam
ayat
(1) dalam
mempekerjakan tenaga
kerja
wajib memberi
kan perlindungan
yang mencakup
kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan
baik mental maupun
fisik tenaga kerja.
Pasal 36
(1) Penempatan tenaga kerja oleh pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat
(1) dilakukan dengan memberikan pelayanan penempatan tenaga kerja.
(2) Pelayanan
penempatan tenaga kerja
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1)
bersifat
terpadu dalam
satu sistem penempatan tenaga kerja yang
meliputi unsur-unsur :
a.
pencari
kerja;
b. lowongan pekerjaan;
c. informasi
pasar kerja;
d. mekanisme antar
kerja; dan
e. kelembagaan penempatan tenaga kerja.
(3) Unsur-unsur sistem
penempatan tenaga kerja
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2)
dapat dilaksanakan secara
terpisah yang
ditujukan untuk terwujudnya
penempatan tenaga kerja.
Pasal 37
(1) Pelaksana
penempatan tenaga kerja
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 35
ayat (1)
terdiri dari :
a.
instansi
pemerintah yang bertanggung jawab di bidang
ketenaga-kerjaan; dan b. lembaga swasta
berbadan hukum.
(2) Lembaga
penempatan tenaga kerja
swasta sebagaimana
dimaksud dalam
ayat (1)
huruf b dalam melak sanakan pelayanan penempatan tenaga kerja wajib memiliki izin
tertulis dari Menteri atau
pejabat yang ditunjuk.
Pasal 38
(1) Pelaksana
penempatan tenaga kerja
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 37
ayat (1) huruf
a, dilarang
memungut biaya
penempatan, baik langsung
maupun tidak
langsung, sebagian atau
keseluruhan kepada tenaga
kerja dan pengguna
tenaga kerja.
(2) Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat
(1) huruf b, hanya
dapat memungut
biaya penempatan
tenaga kerja
dari pengguna
tenaga kerja dan dari
tenaga kerja golongan
dan jabatan tertentu.
(3) Golongan dan jabatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan
Keputusan Menteri.
BAB VII
PERLUASAN KESEMPATAN KERJA
Pasal 39
(1) Pemerintah
bertanggung jawab mengupayakan
perluasan kesempatan kerja
baik di
dalam maupun di luar
hubungan kerja.
(2) Pemerintah
dan masyarakat
bersama-sama mengupayakan perluasan kesempatan kerja
baik di dalam maupun
di luar hubungan
kerja.
(3) Semua
kebijakan pemerintah baik
pusat maupun
daerah di
setiap sektor
diarahkan
untuk
mewujudkan per luasan
kesempatan kerja baik
di dalam
maupun di
luar hubungan kerja.
(4) Lembaga
keuangan baik
perbankan maupun non
perbankan, dan dunia
usaha perlu
membantu dan mem berikan
kemudahan bagi setiap kegiatan masyarakat yang dapat
menciptakan atau mengembangkan perluasan kesempatan kerja.
Pasal 40
(1) Perluasan
kesempatan kerja di
luar hubungan
kerja dilakukan
melalui penciptaan
kegiatan yang produktif
dan berkelanjutan
dengan
mendayagunakan potensi sumber
daya
alam, sumber daya
manusia dan teknologi
tepat guna.
(2) Penciptaan perluasan kesempatan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
dengan pola
pembentukan dan pembinaan
tenaga kerja
mandiri, penerapan
sistem padat karya, penerapan teknologi tepat guna, dan pendayagunaan tenaga kerja
sukarela atau pola lain
yang dapat mendorong terciptanya perluasan kesempatan kerja.
Pasal 41
(1) Pemerintah menetapkan kebijakan ketenagakerjaan dan
perluasan kesempatan kerja.
(2) Pemerintah dan masyarakat bersama-sama mengawasi pelaksanaan kebijakan
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1).
(3) Dalam
melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud dalam
ayat (2)
dapat dibentuk
badan koordinasi yang beranggotakan unsur
pemerintah dan unsur
masyarakat.
(4) Ketentuan mengenai
perluasan kesempatan kerja,
dan pembentukan
badan koordinasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, Pasal 40, dan ayat (3) dalam pasal ini diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
PENGGUNAAN TENAGA KERJA
ASING
Pasal 42
(1) Setiap
pemberi kerja
yang mempekerjakan
tenaga kerja
asing wajib
memiliki izin
tertulis dari Menteri atau
pejabat yang ditunjuk.
(2) Pemberi kerja
orang perseorangan dilarang
mempekerjakan tenaga kerja
asing.
(3) Kewajiban
memiliki izin
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1),
tidak berlaku
bagi perwakilan
negara
asing
yang mempergunakan
tenaga kerja
asing sebagai
pegawai diplomatik dan
konsuler.
(4) Tenaga
kerja asing
dapat dipekerjakan
di Indonesia
hanya dalam
hubungan kerja
untuk jabatan tertentu dan
waktu tertentu.
(5) Ketentuan
mengenai jabatan
tertentu dan waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam
ayat
(4) ditetapkan dengan
Keputusan Menteri.
(6) Tenaga
kerja asing
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (4)
yang masa
kerjanya habis
dan
tidak dapat di
perpanjang dapat digantikan oleh tenaga kerja asing
lainnya.
Pasal 43
(1) Pemberi kerja yang menggunakan tenaga kerja asing harus memiliki rencana
penggunaan tenaga
kerja asing yang
disahkan oleh Menteri
atau pejabat yang
ditunjuk.
(2) Rencana penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
sekurang-kurangnya memuat keterangan :
a. alasan penggunaan tenaga kerja asing;
b. jabatan dan/atau kedudukan tenaga kerja asing dalam struktur organisasi
perusahaan yang
bersangkutan;
c. jangka waktu
penggunaan tenaga kerja
asing; dan
d. penunjukan tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai pendamping tenaga kerja
asing yang
dipekerjakan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi instansi
pemerintah, badan-badan internasional dan perwakilan negara
asing.
(4) Ketentuan
mengenai tata
cara pengesahan rencana
penggunaan tenaga kerja
asing diatur dengan
Keputu san Menteri.
Pasal 44
(1) Pemberi
kerja tenaga
kerja asing
wajib menaati
ketentuan mengenai jabatan
dan standar kompetensi yang berlaku.
(2) Ketentuan
mengenai jabatan
dan standar
kompetensi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1)
diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 45 (1) Pemberi
kerja tenaga kerja
asing wajib :
a. menunjuk tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai tenaga pendamping tenaga
kerja
asing yang
dipekerjakan untuk alih
teknologi dan alih
keahlian dari
tenaga kerja asing; dan
b. melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga kerja Indonesia
sebagaimana dimaksud pada
huruf a yang
sesuai dengan
kualifikasi jabatan yang
diduduki oleh tenaga kerja
asing.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kerja asing
yang
menduduki ja batan
direksi dan/atau komisaris.
Pasal 46
(1) Tenaga
kerja asing
dilarang menduduki
jabatan yang
mengurusi personalia
dan/atau
jabatan-jabatan tertentu.
(2) Jabatan-jabatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan
Keputusan Menteri
Pasal 47
(1) Pemberi
kerja wajib
membayar kompensasi
atas setiap
tenaga kerja
asing yang
dipekerjakannya.
(2) Kewajiban membayar kompensasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
berlaku bagi instansi pe merintah,
perwakilan negara asing, badan-badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan-jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
(3) Ketentuan mengenai jabatan-jabatan
tertentu di lembaga pendidikan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) diatur
dengan Keputusan Menteri.
(4) Ketentuan mengenai besarnya kompensasi dan penggunaannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 48
Pemberi kerja
yang mempekerjakan
tenaga kerja
asing wajib
memulangkan tenaga kerja
asing ke
negara asalnya setelah
hubungan kerjanya berakhir.
Pasal 49
Ketentuan
mengenai penggunaan
tenaga kerja
asing serta
pelaksanaan pendidikan dan
pelatihan tenaga kerja pendamping diatur dengan Keputusan Presiden.
BAB IX HUBUNGAN KERJA
Pasal 50
Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh.
Pasal 51 (1) Perjanjian kerja dibuat secara
tertulis atau lisan.
(2) Perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang undangan yang
berlaku.
(1) Perjanjian
kerja dibuat atas
dasar :
a. kesepakatan kedua belah pihak;
Pasal 52
b. kemampuan
atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
c. adanya pekerjaan
yang diperjanjikan; dan
d. pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang undangan
yang berlaku.
(2) Perjanjian
kerja yang
dibuat oleh
para pihak
yang bertentangan
dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) huruf a dan b
dapat dibatalkan.
(3) Perjanjian
kerja yang
dibuat oleh
para pihak
yang bertentangan
dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1)
huruf c dan d batal
demi hukum.
Pasal 53
Segala
hal dan/atau
biaya yang
diperlukan bagi pelaksanaan
pembuatan perjanjian kerja
dilaksanakan oleh dan menjadi
tanggung jawab pengusaha.
Pasal 54
(1) Perjanjian kerja
yang dibuat secara
tertulis sekurang kurangnya
memuat :
a. nama, alamat
perusahaan, dan jenis
usaha;
b. nama,
jenis kelamin, umur,
dan alamat pekerja/buruh;
c. jabatan atau
jenis pekerjaan;
d. tempat
pekerjaan;
e. besarnya upah dan cara
pembayarannya;
f. syarat syarat kerja
yang memuat hak
dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh;
g. mulai dan
jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
h. tempat
dan tanggal
perjanjian kerja dibuat;
dani. tanda
tangan para
pihak dalam
perjanjian kerja.
(2) Ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf e dan f, tidak
boleh bertentangan
dengan peraturan
perusahaan, perjanjian kerja
bersama, dan
peraturan perundang undangan yang
berlaku.
(3) Perjanjian
kerja sebagaimana
dimaksud dalam
ayat (1)
dibuat sekurang-kurangnya
rangkap 2 (dua), yang
mempunyai kekuatan
hukum yang
sama, serta
pekerja/buruh
dan pengusaha masing-masing
mendapat 1 (satu)
perjanjian kerja.
Pasal 55
Perjanjian kerja
tidak dapat ditarik
kembali dan/atau diubah,
kecuali atas persetujuan para pihak.
Pasal 56
(1) Perjanjian kerja
dibuat untuk waktu
tertentu atau untuk
waktu tidak tertentu.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
didasarkan atas :
a. jangka waktu; atau
b. selesainya suatu pekerjaan tertentu.
Pasal 57
(1) Perjanjian
kerja untuk
waktu
tertentu dibuat
secara tertulis
serta harus
menggunakan
bahasa Indonesia
dan huruf latin.
(2) Perjanjian
kerja untuk
waktu tertentu
yang dibuat
tidak tertulis
bertentangan dengan
ketentuan
sebagai mana
dimaksud dalam
ayat (1)
dinyatakan sebagai perjanjian kerja
untuk waktu tidak tertentu.
(3) Dalam
hal perjanjian
kerja dibuat
dalam bahasa
Indonesia dan bahasa
asing, apabila
kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, maka yang berlaku perjanjian kerja yang dibuat
dalam bahasa Indonesia.
Pasal 58
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa
percobaan kerja.
(2) Dalam
hal disyaratkan
masa percobaan
kerja dalam
perjanjian kerja sebagaimana
dimaksud dalam
ayat (1), masa
percobaan kerja yang
disyaratkan batal demi
hukum.
Pasal 59
(1) Perjanjian
kerja untuk
waktu tertentu
hanya dapat
dibuat untuk
pekerjaan tertentu yang menurut jenis
dan sifat
atau kegiatan
pekerjaannya akan selesai
dalam waktu
tertentu, yaitu :
a. pekerjaan yang
sekali selesai atau
yang sementara sifatnya;
b. pekerjaan
yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama
dan paling
lama 3 (tiga) tahun;
c. pekerjaan yang
bersifat musiman; atau
d.
pekerjaan yang
berhubungan dengan produk
baru, kegiatan
baru, atau
produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
(2) Perjanjian
kerja untuk
waktu tertentu
tidak dapat
diadakan untuk
pekerjaan yang
bersifat tetap.
(3) Perjanjian kerja
untuk waktu tertentu
dapat diperpanjang atau
diperbaharui.
(4) Perjanjian
kerja waktu
tertentu yang
didasarkan atas jangka
waktu tertentu
dapat diadakan untuk
paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka
waktu paling lama 1 (satu)
tahun.
(5) Pengusaha
yang bermaksud
memperpanjang perjanjian kerja
waktu tertentu
tersebut, paling lama
7 (tujuh) hari sebelum
perjanjian kerja waktu
tertentu berakhir
telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada
pekerja/buruh yang bersangkutan.
(6) Pembaruan
perjanjian kerja waktu
tertentu hanya
dapat diadakan
setelah melebihi
masa
tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya
perjanjian kerja waktu tertentu
yang
lama, pembaruan
perjanjian kerja waktu
tertentu ini
hanya boleh
dilakukan 1 (satu) kali
dan paling lama 2 (dua)
tahun.
(7) Perjanjian
kerja untuk
waktu tertentu
yang tidak
memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum
menjadi perjanjian kerja waktu
tidak tertentu.
(8) Hal-hal lain
yang belum
diatur dalam
Pasal ini
akan diatur
lebih lanjut
dengan
Keputusan Menteri.
Pasal 60
(1) Perjanjian kerja untuk
waktu tidak tertentu
dapat mensyaratkan masa percobaan kerja
paling lama 3 (tiga)
bulan.
(2)
Dalam masa
percobaan kerja
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1),
pengusaha
dilarang membayar upah di bawah
upah minimum yang
berlaku.
(1) Perjanjian kerja
berakhir apabila :
a. pekerja meninggal dunia;
Pasal 61
b. berakhirnya jangka waktu
perjanjian kerja;
c. adanya
putusan pengadilan
dan/atau putusan
atau penetapan
lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
atau
d. adanya keadaan
atau kejadian
tertentu yang
dicantumkan dalam perjanjian
kerja,
peraturan
perusahaan, atau perjanjian
kerja bersama
yang dapat
menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
(2) Perjanjian
kerja tidak
berakhir karena
meninggalnya pengusaha atau
beralihnya hak atas perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan, atau hibah.
(3) Dalam hal terjadi pengalihan perusahaan maka hak-hak pekerja/buruh menjadi
tanggung
jawab pengusaha
baru, kecuali
ditentukan lain dalam
perjanjian pengalihan yang tidak
mengurangi hak-hak pekerja/buruh.
(4) Dalam
hal pengusaha,
orang perseorangan,
meninggal dunia, ahli
waris pengusaha
dapat mengakhiri per-janjian kerja
setelah merundingkan dengan
pekerja/buruh.
(5) Dalam hal pekerja/buruh meninggal dunia, ahli waris pekerja/ buruh berhak
mendapatkan hak haknya
se-suai dengan
peraturan perundang-undangan
yang berlaku atau hak
hak yang
telah diatur
dalam perjanjian
kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama.
Pasal 62
Apabila salah
satu pihak
mengakhiri hubungan kerja
sebelum berakhirnya
jangka waktu
yang ditetapkan dalam
perjanjian kerja waktu
tertentu, atau berakhirnya
hubungan kerja
bukan karena ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam
Pasal 61
ayat (1),
pihak yang
mengakhiri hubungan kerja diwajibkan
membayar
ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar
upah
pekerja/buruh sampai batas
waktu berakhirnya jangka
waktu perjanjian kerja.
Pasal 63
(1) Dalam
hal perjanjian
kerja waktu
tidak tertentu
dibuat secara
lisan, maka
pengusaha wajib membuat surat
pengangkatan bagi pekerja/buruh yang bersangkutan.
(2) Surat pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sekurang kurangnya
memuat keterangan :
a. nama dan
alamat pekerja/buruh;
b. tanggal
mulai bekerja; c. jenis
pekerjaan; dan d. besarnya upah.
Pasal 64
Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui
perjanjian pemborongan pekerjaan
atau penyediaan
jasa pekerja/buruh yang dibuat secara
tertulis.