Selasa, 12 Maret 2013


S. Miharja, uin bandung

10    Aspirasi, Kematangan, Dan Efikasi Karir

A. ASPIRASI KERJA

Pemahaman akan aspirasi kerja, menjadi penting ketika terdapat fakta adanya sejumlah individu yang merasa tidak memiliki kemampuna untuk berhasil dalam mencapai cita-cita pekerjaan. Demikian juga masih banyak pemikiran bahwa persyaratan pendidikan berada di luar sumber daya mereka yang akan memasuki dunia kerja. Pandangan lain tidak sedikit juga, para angkatan kerja yang tidak didukung oleh keluarga dan teman-teman dalam melakukan pekerjaan. Aspirasi secara umum dapat memahami masyarakat akan hambatan sosial untuk masuk ke dalam keberhasilan kerja mereka.

Untuk memahami aspirasi kerja, setidaknya terdapat dua teori yang telah membangun konstruksi tentang aspirasi kerja. Teori pertama menggunakan psikologo social, dan kedua menggunakan tugas perkembangan karir. Dalam pandangan teori psikologi sosial, aspek budaya, gender, dan berbagai peristiwa dalam kehidupan berinteraksi dengan preferensi karir individu. Interaksi itu kemudian menentukan aspirasi dan pilihan karir. Teori psikologi social menekankan pada cara bahwa atribut individu dibentuk oleh pengalaman dan sekitarnya.

Dalam teori perkembangan karir, aspirasi berada pada tahap ekspolorasi (Super, 1990). Dalam tahap perkembangan karir, telah direntangkan lima tangga tugas perkembangan yakni masa pertumbuhan, eksplorasi, pembentukan, pemeliharaan dan pelepasan. Aspirasi dimulai pada tahap eksplorasi, sekitar usia 14 dan ditandai oleh pengerucutan pilihan karir, dari fantasi karir, identifikasi pilihan tentatif, untuk keputusan akhir tentang karir pilihan.

Lebih lanjut, Super mengemukakan bahwa konsep diri memainkan peran penting dalam pengembangan karir. Bahkan, aspirasi karir dipandang sebagai representasi dari konsep diri individu. Aspirasi Kerja dapat berubah seiring waktu, namun mereka cenderung menjadi semakin stabil seperti pada remaja dewasa.


Terdapat hubungan berkelanjutan antara aspirasi dan pencarian kerja. Keterkaitan erat ini kemudian melibatkan banyak pihak. Aspirasi dan pencarian kerja merupakan topik yang sangat penting untuk para peneliti, pencari kerja dan praktisi yang membantu pencari kerja. Banyak stakeholder yang memiliki kepentingan termasuk individu, lembaga pendidikan, konselor karir, organisasi, dan masyarakat pada umumnya.

Dalam pencarian kerja berhubungan dengan berbagai orang, termasuk mereka yang telah menderita kehilangan pekerjaan, relawan, individu yang memasuki dunia kerja untuk pertama kalinya, dan juga individu yang ingin mengubah pekerjaan mereka, organisasi, atau bahkan karir.

Pencarian kerja sendiri merupakan proses yang terdiri dari mengumpulkan informasi tentang kesempatan kerja potensial, menghasilkan dan mengevaluasi alternatif pekerjaan, dan memilih pekerjaan dari berbagai alternatif. Kegiatan ini menentukan jenis dan jumlah informasi yang diperoleh pencari kerja untuk mendapatkan lowongan pekerjaan serta jumlah kesempatan kerja.

Proses pencarian kerja merupakan urutan kegiatan logis. tahap pencarian kerja terdiri dari dua tangga, yakni perencanaan pencarian kerja dan kemudian mencari pekerjaan dan memilihnya. Mencari pekerjaan dimulai dengan sebuah pencarian untuk mengumpulkan informasi dan mengidentifikasi peluang kerja diikuti dengan pencarian yang lebih intensif yang melibatkan perolehan informasi spesifik tentang pekerjaan.


KEMATANGAN KARIER
Kematangan karier merupakan kemampuan individu dalam pola mengaktualisasikan dirinya sesuai kemampuan yang dimilikinya dalam menunjang arah karier dimasa yang akan datang. Super (dalam Winkel, 2004:633) mendefinisikan kematangan karier sebagai keberhasilan individu untuk menyelesaikan tugas-tugas perkembangan karier yang khas bagi tahap perkembangan tertentu. Super (dalam Savickas, 2001, 53) menjelaskan bahwa individu dikatakan matang atau siap untuk membuat keputusan karier jika pengetahuan yang dimilikinya untuk membuat keputusan karier didukung oleh informasi yang adekuat mengenai pekerjaan berdasarkan eksplorasi yang telah dilakukan.
Kematangan karier individu akan berbeda bergantung pada tahap perkembangan karier individu. Kematangan dapat mengidentifikasi kesempatan dan tingkat pekerjaan yang sesuai serta mempertimbangkan kebutuhan, minat, kapasitas kompetensi, dan nilai pribadi. Oleh karena itu konsep kematangan karier bersifat normatif, artinya harus ada kesesuaian antara perkembangan karier individu dengan perkembangan yang diharapkan.
Kematangan karier individu terkait dengan tahap perkembangan karier individu. Sebagai contoh jika tahap perkembangan karier pada usia 18 – 25 tahun merupakan tahap perkembangan karier usia mahasiswa. Pada kematangan usia tersebut, mereka harus mengidentifikasi kesempatan dan tingkat pekerjaan yang sesuai serta mempertimbangkan kebutuhan, minat, kapasitas kompetensi, dan nilai pribadi. Oleh karena itu konsep kematangan karier harus bersifat normatif, artinya harus ada kesesuaian antara perkembangan karier individu dengan perkembangan yang diharapkan pada usia tertentu. Asumsinya semakin mendekati kesesuaian antara perkembangan yang ada dengan yang diharapkan, maka akan semakin kuat atau besar kemungkinan untuk mencapai kematangan karier. Dengan demikian kematangan karier dapat diketahui dengan sejauh mana serta bagaimana individu memenuhi tahapan perkembangan arah karier.
Menurut Super (dalam Savickas, 2001) kematangan karier untuk tahap kristalisasi mencakup lima aspek yaitu: (a) Perencanaan Karier, (b) Eksplorasi Karier, (c) Informasi Dunia Kerja, (d) Pengetahuan Mengenai Jenis Pekerjaan yang Diminati, dan (e) Pengambilan Keputusan.
Pada tahap perencanaan karier, individu menyadari bahwa dirinya harus membuat pilihan pendidikan dan vokasional, serta mempersiapkan diri untuk membuat pilihan tersebut. Berdasarkan pemikirannya individu memikirkan suatu langkah atau perencanaan untuk mempersiapkan masa depannya, yang dapat meliputi pendidikan, latihan, pekerjaan, serta penambahan kemampuan berupa kursus-kursus dan lain-lain.
Eksplorasi karier merupakan kemauan individu untuk memperoleh informasi mengenai dunia kerja umumnya dan untuk memilih salah satu bidang pekerjaan khususnya. Dalam pencarian informasi dapat melalui teman, lingkungan keluarga (orang tua), saudara, pembimbing atau orang dewasa yang memegang jabatan atau pekerjaan tertentu. Informasi karier juga dapat dilakukan melalui ekplorasi media masa baik audio dan visual atau melalui media radio dan teknologi informasi.
Kegunaan informasi karier ini adalah untuk membantu dalam proses perencanaan yang akan dibuat individu serta melakukan aktivitas yang mendukung perencanaan yang telah ada untuk meraih karier yang diharapkan.
Kondisi ini menunjukan pada kemampuan untuk menggunakan informasi tentang karier yang dimiliki untuk dirinya, serta mulai mengkristalisasikan pilihan pada bidang dan tingat pekerjaan tertentu. Informasi sangat penting dalam menentukan arah pendidikan atau arah pekerjaan yang akan dilalui. Tahapan ini perlu diperhatikan, mengingat sangat penting dalam membuat perencanaan dari informasi yang telah ada. Jika informasi salah, maka akan berdampak pada kesulitan individu melakukan suatu perencanaan. Adanya keterbatasan informasi yang dimiliki individu akan menghambat proses pemilihan pendidikan atau pekerjaan.
Pada tahapan ini individu dihadapkan pada situasi memilih pekerjaan yang akan ditekuni sesuai dengan minat dan kemampuannya. Individu harus berpikir realistic terhadap minat dan kemampuannya dalam menentukan pilihan karier yang akan diambilnya. Pandangan Super menunjukan bahwa setiap individu memiliki kumpulan minat dan kemampuan. Hal ini harus disesuaikan dengan  minat dan kemampuan yang telah dimiliki.
Pada tahapan ini individu mengetahui hal yang harus dipertimbangkan dalam membuat pilihan pendidikan dan pekerjaan, kemudian membuat pilihan pekerjaan yang sesuai dengan minat dan kemampuan. Pengambilan keputusan memberikan makna pada tahapan dimana individu harus memiliki kesadaran dan pertimbangan sebagai dasar untuk mengambil keputusan mengenai pendidikan dan pekerjaan. Kegagalan dalam mengambil keputusan akan merugikan individu, baik dari segi waktu maupun usaha yang telah dilakukan.

Kematangan karir (career maturity) terdiri dari kesiapan, sikap dan kemampuan dalam pencapaian tugas perkembangan karir pada tahapan perkembangan karir tertentu.  Langley (1989) telah mengintegrasikan pendekatan Super  (1980) dan  Crites  (1981); serta  Westbrook (1983)  telah merancang skala yang disebut Skala Kematangan Karir. Skala kematangan karir ini meliputi pengetahuan diri, pembuatan keputusan karir, informasi karir, integrasi, pengetahuan tentang diri dan karir, dan perencanaan karir.

Lebih lanjut Langley (1989), mengaitkan komponen kematangan karir dengan tugas perkembangan dalam integrasi proses perkembangan; lalu kematangan karir dan tugas perkembangan tersebut dikaitkan dengan masalah-masalah karir yang relevan.

1)      Komponen Pengetahuan diri, mencakup tugas perkembangan pada  keinginan-keinginan peran dalam kehidupan, nilai-nilai diri, dan minat pekerjaan. Masalah karir yang relevan antara lain diri pribadi, agama, nilai, moral, dan minat pekerjaan.

2)      Komponen pembuatan keputusan karir, mencakup tugas perkembangan pada  membuat keputusan dan pemilihan pekerjaan. Masalah karir yang relevan antara lain memutuskan pilihan, manajemen waktu, serta ekonomi dan keuangan.

3)      Komponen informasi karir, mencakup tugas perkembangan pada Informasi pekerjaan (dari lingkungan). Masalah karir yang relevan antara lain informasi dari pada hubungan social, hubungan social, hubungan teman sebaya, dan hubungan keluarga.

4)      Komponen integrasi pengetahuan diri dengan pengetahuan karir, mencakup tugas perkembangan pada integrasi pengetahuan diri dengan pengetahuan karir. Masalah karir yang relevan antara lain rumah tinggal dan lingkungan,  keadaan keluarga dan Pasar kerja.

5)      Komponen perencaaan karir, mencakup tugas perkembangan pada Perencanaan karir. Masalah karir yang relevan antara lain merencanakan pekerjaan, pendidikan, pelatihan dan kursus, serta pendidikan lanjut dan masa depan



EFIKASI
Keyakinan diri (self-efficacy), yang kemudian diistilahkan disini dengan “efikasi” merupakan keyakinan seseorang terhadap kemampuan yang dimilikinya untuk mengorganisasikan dan bisa menampilkan perilaku performa yang efektif sehingga bisa menyelesaikan tugas tertentu dengan baik serta merupakan salah satu faktor personal yang menjadi perantara antara faktor perilaku dan faktor lingkungan.
Keyakinan diri adalah sebuah konsep yang dirumuskan oleh Albert Bandura, guru besar psikologi di Standford University, dan bersumber dari social learning theory. Menurut Bandura (1997), “Self-efficacy is a major basic of action. People guide their lives by their beliefs of personal efficacy. Keyakinan diri refers to beliefs in ones capabilities to organize and execute the courses of action required to produce given attainments. Keyakinan diri merupakan keyakinan akan kemampuan individu untuk dapat mengorganisir dirinya dan melaksanakan serangkaian  tindakan yang dipandang perlu untuk mencapai suatu hasil yang diharapkan. Dengan asumsi tersebut keyakinan diri merupakan satu keyakinan yang mendorong individu untuk melakukan dan untuk mencapai sesuatu yang dituju. Teori keyakinan diri merupakan upaya untuk memahami keberfungsian kehidupan manusia dalam pengendalian diri, pengaturan proses berpikir, motivasi, kondisi afektif dan psikologis (Bandura, 1997, 36). Melalui perspektif ini, keyakinan diri diyakini dapat membuat individu mampu menafsirkan dan menerjemahkan faktor-faktor internal dan eksternal ke dalam tindakan nyata.  Menurut Bandura dalam Alwisol (2006:344) menunjukan bahwa keyakinan diri merupakan persepsi diri mengenai seberapa bagus diri dapat berfungsi dalam situasi tertentu. Keyakinan diri berhubungan dengan keyakinan bahwa diri memiliki kemampuan melakukan tindakan yang diharapkan.
Norwich (dalam Azwar, 1996) mendefinisikan keyakinan diri sebagai salah satu faktor personal yang menjadi perantara interaksi antara faktor perilaku dan faktor lingkungan. Tingginya keyakinan diri yang dipersepsikan akan memotivasi individu secara kognitif untuk bertindak lebih terarah, terutama apabila tujuan yang hendak dicapai merupakan tujuan yang jelas. 
Bandura (1997) berpendapat bahwa keyakinan diri adalah kemampuan umum yang terdiri atas aspek-aspek kognitif, sosial, emosional dan perilaku, dan individu harus mampu mengolah aspek-aspek itu untuk mencapai tujuan tertentu. Lebih lanjut, diingatkan bahwa keyakinan diri merupakan sebuah instrumen multi guna karena konsep ini tidak hanya berkaitan dengan kemampuan, namun juga mampu menumbuhkan keyakinan bahwa individu dapat melakukan berbagai hal dalam berbagai kondisi. Dengan kata lain, keyakinan diri berlaku sebagai mesin pembangkit kemampuan manusia. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika seseorang memiliki keyakinan diri yang kuat, maka ia bermotivasi tinggi dan bahkan menunjukkan pandangan yang ekstrim dalam menghadapi suatu situasi.
Alwisol (2006:344) mengemukakan keyakinan diri adalah penilaian diri, apakah dapat melakukan tindakan yang baik atau buruk, tepat atau salah, bisa atau tidak bisa mengerjakan sesuai dengan yang dipersyaratkan. Keyakinan diri berbeda dengan aspirasi (cita-cita), karena cita-cita menggambarkan sesuatu yang ideal yang seharusnya dapat dicapai, sedangkan keyakinan diri menggambarkan penilaian kemampuan diri.
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa keyakinan diri dalam berkarier adalah keyakinan seseorang terhadap kemampuan yang dimilikinya untuk mengorganisasikan dan bisa menampilkan perilaku performa yang efektif sehingga bisa menyelesaikan tugas tertentu dengan baik serta merupakan salah satu faktor personal yang menjadi perantara antara faktor perilaku dan faktor lingkungan.
Asumsi tersebut mendasari pemikiran bahwa keyakinan diri secara sederhana dapat diartikan sebagai keyakinan diri atau keyakinan terhadap kemampuan diri.
b. Fungsi Keyakinan Diri dalam Kehidupan
Hubungan keyakinan diri dengan aspek-aspek karier sudah diteliti oleh peneliti sebelumnya. Penelitian keterkaitan keyakinan diri dengan keputusan karir antara lain oleh Taylor,  K.M.,  &  Betz,  N.E. (1983); Taylor,  K.M.,  &  Popma,  J. (1990); Bergeron,  L.M.,  &  Romano,  J.L.  (1994); Creed,  P.,  Patton, W.,  &  Prideaux,  L.  (2006). Penelitian hubungan budaya, status social, minat karir dan keyakinan diri oleh   Mau,  W.  (2000); Nauta, M.M & Kahn, J.H. (2007); Oettingen,  G.  &  Zosuls,  K.M.  (2006).
Perubahan tingkah laku dalam konsep Bandura (Alwisol, 2006:345) adalah perubahan keyakinan diri. Keyakinan diri dapat diperoleh, diubah, ditingkatkan atau diturunkan, melalui salah satu atau kombinasi empat sumber, yakni pengalaman menguasai sesuatu prestasi (performance accomplishment), pengalaman vikarius (vicarious experience), persuasi social (social persuation) dan pembangkitan emosi (emotional/Physiological states).
Menurut Hjelle & Ziegler (1992), keyakinan diri memiliki lima macam fungsi dalam kehidupan individu.
Pertama, menentukan pilihan tingkah laku. Seseorang akan cenderung memilih tugas yang diyakininya mampu untuk diselesaikan dengan baik dan akan menghindari suatu tugas yang dianggap sulit dilaksanakan dengan baik. Lebih lanjut, juga disebutkan bahwa dalam pemilihan aktivitas, individu cenderung menghindari tugas-tugas dan situasi yang diyakini melebihi kemampuan dirinya dan cenderung melakukan tugas yang berada dalam jangkauannya.
Kedua, menentukan seberapa  besar usaha dan ketekunan yang dilakukan.  Keyakinan diri menentukan seberapa besar usaha yang dapat dilakukan seseorang dan berapa lama dirinya bertahan dalam menghadapi kesulitan. Keyakinan diri yang dimiliki individu juga akan menentukan pembentukan komitmen individu dalam pencapaian tujuan dari hal-hal yang dilakukannya (Smither, 1994).
Ketiga, mempengaruhi pola pikir dan reaksi emosional. Penilaian mengenai kemampuan seseorang juga memiliki pengaruh terhadap pola pikir dan reaksi emosionalnya. Individu dengan keyakinan diri   rendah akan menilai dirinya tidak mampu mengerjakan tugas dan menghadapi tuntutan lingkungan. Mereka juga cenderung lebih memikirkan kekurangan dirinya daripada berusaha memperbaikinya. Hal yang sebaliknya justru terjadi pada individu dengan keyakinan diri tinggi.
Keempat, meramalkan tingkah laku selanjutnya. Individu dengan keyakinan diri yang tinggi akan berbeda dengan individu dengan keyakinan diri yang rendah dalam bertindak dan berperasaan.
Kelima, menunjukkan kinerja selanjutnya. Keyakinan diri dapat berpengaruh terhadap kinerja yang akan dilakukan seseorang. Penguasaan materi yang menghasilkan kesuksesan dapat membangun keyakinan diri seseorang. Di lain pihak, kegagalan yang tercipta justru dapat menurunkan keyakinan diri (Bandura, 1997).
Fungsi efikasi dalam kehidupan digunakan   untuk menentukan pilihan tingkah laku guna memilih tugas yang diyakininya dapat dikerjakan dengan baik dan menghindari tugas yang sulit, menentukan seberapa besar usaha dan ketekunan yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas tersebut, mempengaruhi pola pikir dan reaksi emosional terhadap mampu atau tidaknya individu dalam menyelesaikan tugas, meramalkan tingkah laku selanjutnya, serta menunjukkan kinerja selanjutnya di mana kesuksesan akan mampu berpengaruh positip terhadap efikasi  yang dimiliki.

Sumber pengontrol tingkah laku dalam kehidupan individu adalah resiprokal antara lingkungan, tingkah laku, dan pribadi. Efikasi merupakan variable pribadi yang sangat penting, jika digabung dengan tujuan-tujuan khusus serta pemahaman mengenai prestasi, maka akan menjadi factor penentu tingkah laku mendatang yang penting. Dengan demikian efikasi dapat memberikan arah perkembangan individu pada waktu yang akan datang. Jika individu memiliki efikasi yang tinggi, maka diharapkan individu tersebut akan melakukan perilaku yang lebih responsive terhadap lingkungan, tingkah laku itu sendiri serta pribadinya.
c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efikasi
Bandura (1997) menunjukan bahwa keyakinan terhadap kemampuan diri akan mempengaruhi bagaimana individu merasakan, berpikir, memotivasi diri, dan bertingkah laku.
Dalam kehidupan manusia, memiliki efikasi merupakan hal yang sangat penting. Efikasi mendorong seseorang untuk memahami secara mendalami atas situasi yang dapat menerangkan tentang mengapa seseorang ada yang mengalami kegagalan dan atau yang berhasil.
Terdapat lima faktor yang dapat mempengaruhi efikasi individu sebagaimana dikemukanan oleh Bandura dalam Alwisol (2006). Kelima faktor ini disajikan dalam Tabel 1.
1) Pengalaman Performasi (Perfomance Accomplishment )
Pengalaman menguasai suatu prestasi yang pernah dicapai pada masa yang telah lalu sebagai sumber informasi masa lalu menjadi pengubah efikasi yang paling kuat pengaruhnya. Prestasi masa lalu yang bagus akan meningkatkan ekpektasi efikasi, sedangkan kegagalan masa lalu akan menurunkan efikasi individu.


TABEL. STRATEGI PENGUBAHAN SUMBER EKSPEKTASI
EFIKASI

Sumber
Cara Induksi
Pengalaman Performasi
(PPe)
Participan modeling
Meniru mode yang berprestasi
Performance desentization
Menghilangkan pengaruh buruk prestasi masa lalu
Performance exposure
Menonjolkan keberhasilan yang pernah diraih
Self-instrukted performance
Melatih diri untuk melakukan yang terbaik
Pengalaman vikarius (PVi)
Live modeling
Mengamati model yang nyata
Symbolic modeling
Mengamati model simbolik, film, komik, ceritera
Persuasi Verbal
(PVe)
Suggestion
Mempengaruhi dengan kata-kata berdasar kepercayaan
Exhortation
Nasihat, peringatan yang mendesak
Self-instruktion
Memerintah diri sendiri
Interpretive
Interpretasi baru memperbaiki interpretasi lama yang salah
Pembangkitan Emosi
(PEm)
Attribution
Mengubah atribusi, penanggung jawab suatu
Relaxation biofeedback
Relaksasi
Symbolic desensitization
Menghilangkan sikap emosional dengan modeling simbolik
Symbolic exposure
Memunculkan emosi secara simbolik
Pengalaman performasi (Performance accomplishment) merupakan sumber pengharapan yang utama karena didasarkan pada pengalaman individu ketika berhasil mengerjakan suatu hal dengan baik. Bandura (1997) menyebutkan hal ini dengan nama lain, yaitu enactive attaintment atau sumber informasi yang paling berpengaruh karena memiliki dasar pada keberhasilan pengalaman pribadi dalam menyelesaikan suatu tugas dengan baik. Keberhasilan akan menumbuhkan pengharapan dan kegagalan yang terjadi berulangkali melemahkan pengharapan.
Bandura (1997) menyebutkan hal ini sebagai mastery experience di mana keberhasilan sebelumnya dimasa lalu akan mempengaruhi keberhasilan dan pengerjaan tugas-tugas berikutnya.
2)   Pengalaman Vikarius (Vicorious Experiences)
Pengalaman vikarius sebagaimana terdapat dalam Alwilson (2006:346) diperoleh melalui model sosial. Efikasi akan meningkat ketika individu mengamati keberhasilan orang lain, sebaliknya efikasi akan menurun jika mengamati orang yang   kemampuannya   hampir sama dengan dirinya namun ternyata gagal. Jika pigur yang diamati berbeda dengan dirinya, maka akan memiliki kecenderungan pengaruh vikarius tidak besar. Hal ini disebabkan karena kadar kepercayaannya terhadap diri yang diamati tidak lah sama.
Dengan demikian pengalaman vikarius adalah pengalaman yang didapat ketika individu melihat orang lain berhasil menyelesaikan suatu tugas dengan baik. Pengharapan dapat tumbuh pada diri individu yang memiliki posisi sebagai pengamat pada saat dirinya menyaksikan orang lain mampu melakukan aktivitas dalam situasi yang tertekan tanpa akibat yang merugikan. Pengamatan ini akan menumbuhkan keyakinan bahwa suatu saat dirinya akan mampu dan juga berhasil jika berusaha secara intensif dan tekun. Kemudian akan timbul sugesti bahwa jika orang lain dapat melakukan dengan baik maka dirinya juga akan mampu atau paling tidak ada sedikit perbaikan dan peningkatan yang dapat dilakukan dalam kinerjanya.


3)   Persuasi Verbal (Verbal Persuasion)
Menurut Bandura (1997), verbal persuasion ini digunakan untuk meyakinkan seseorang bahwa dirinya memiliki kemampuan. Individu yang dapat diyakinkan secara verbal oleh lingkungannya akan mengeluarkan usaha yang besar dibandingkan jika dirinya memiliki keraguan akan kemampuan yang dimilikinya. Bandura menekankan bahwa individu yang diarahkan dengan saran, nasihat dan bimbingan dapat meningkatkan kapasitasnya tentang kemampuan-kemampuan yang dimilikinya sehingga individu tersebut mencapai tujuan yang diinginkan.

4)  Emotional Arousal
Emotional aurosal adalah muncul dan naiknya emosi seseorang ketika individu berada dalam situasi yang tertekan. Saat berada dalam situasi yang tertekan, kondisi emosional dapat mempengaruhi pengharapan individu. Rasa takut dan cemas mengalami kegagalan membuat individu mnjadi tidak yakin dalam menghadapi tugas-tugas berikutnya (Bandura, 1997).
Dalam beberapa hal, individu menyandarkan dirinya pada gejolak fisiologis dalam menilai kecemasan dan kepekaannya terhadap stres. Gejolak yang berlebihan biasanya akan melumpuhkan kinerja. Individu jelas berharap akan lebih berhasil jika mengalami gejolak fisiologis ringan daripada harus menderita tekanan, goncangan dan kegelisahan yang mendalam.

5)  Physical or Affective Atatus
            Stres dan kecemasan memiliki akibat negatif terhadap efikasi. Jika individu tidak sedang mengalami gejolak perasaan maka dirinya akan mampu berpikir relative tenang, jernih dan terarah. Hal ini berguna agar dapat melihat apakah tujuan yang akan dicapai sulit, sedang atau mudah. Pada akhirnya efikasi yang akan muncul akan lebih sesuai dengan kenyataan yang sedang dihadapi oleh individu yang bersangkutan.

d. Komponen Efikasi
Bandura (1997) membagi efikasi menjadi tiga komponen. Yaitu meliputi komponen tingkat (level) yang disebut Magnitude komponen ini menunjukan keyakinan individu terhadap kemampuannya untuk mengatasi masalah dengan derajat kesulitan yang berbeda-beda, komponen generalisasi (generality), komponen tersebut menunjukan keyakinan individu  terhadap persepsi kompetensi individu pada tingkat pencapaian keberhasilannya dalam mengatasi tugas-tugas dalam kondisi tertentu, komponen yang ketiga yaitu  kekuatan (Strength) yaitu tingkat kuat atau lemahnya keyakinan individu mengenai kompetensi diri yang dipersepsikannya.
Guna pemahaman yang lebih lengkap ketiga komponen efikasi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1)   Komponen magnitude atau komponen tingkat/level
Dimensi ini adalah dimensi yang berhubungan dengan tingkat kesulitan tugas. Jika seseorang dihadapkan pada tugas-tugas yang disusun menurut tingkat kesulitan yang ada maka pengharapannya akan jatuh pada tugas-tugas yang sifatnya mudah, sedang dan sulit. Hal ini akan disesuaikan dengan batas kemampuan yang dirasakan untuk memenuhi tuntutan perilaku yang dibutuhkan bagi masing-masing tingkat. Orang yang memiliki efikasi tinggi cenderung akan memilih mengerjakan tugas-tugas yang sifatnya sulit dibandingkan yang sifatnya mudah.
2) Komponen generality
Generality menjelaskan keyakinan individu untuk menyelesaikan tugas-tugas tertentu dengan tuntas dan baik. Di sini setiap individu memiliki keyakinan yang berbeda-beda sesuai dengan tugas-tugas yang berbeda pula. Ruang lingkup tugas-tugas yang dilakukan bisa berbeda dan tergantung dari persamaan derajat aktivitas, kemampuan yang diekspresikan dalam hal tingkah laku, pemikiran dan emosi, kualitas dari situasi yang ditampilkan dan sifat individu dalam tingkah laku secara langsung ketika menyelesaikan tugas.
Kemampuan individu dalam menyelesaikan tugas akan mempengaruhi efikasi yang dimiliki. Semakin tinggi kemampuan yang dimiliki maka akan semakin tinggi efikasi   yang ada, begitu pula sebaliknya. Hal ini bisa terjadi karena semakin tinggi kemampuan yang dimiliki maka keyakinan untuk menyelesaikan tugas dengan baik dan tuntas juga semakin tinggi.
3)  Komponen strength
Komponen ini berhubungan dengan derajat kemantapan individu terhadap keyakinannya. Seseorang dengan efikasi yang tinggi sangat yakin dengan kemampuan dirinya. Mereka tidak pernah frustasi dalam menghadapi masalah yang sulit dan lebih mampu menyelesaikan masalah dengan berbagai macam rintangan. Sebaliknya, seseorang dengan tingkatan efikasi  yang rendah merasa bahwa dirinya memiliki kemampuan yang lemah dan akan mudah terguncang apabila menghadapi rintangan dalam melakukan tugasnya.
              Komponen ini juga berkaitan langsung dengan komponen magnitude di mana semakin tinggi taraf kesulitan tugas yang dihadapi maka akan semakin tinggi keyakinan yang dirasakan untuk menyelesaikannya.
              Efikasi dalam diri individu dapat terjadi tinggi atau dapat juga rendah, jika efikasi tinggi maka akan memberikan dampak yang lebih baik terhadap dorongan individu untuk mencapai tujuan yang ia harapkan, sedangkan jika efikasi rendah pada diri individu, maka akan berdampak terhadap menurunnya dorongan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Dengan asumsi tersebut, dipandang perlu untuk meningkatkan efikasi, Santrock (1999) menyebutkan empat tahap meningkatkan efikasi yang dimiliki. Keempat tahap tersebut adalah: (a) Memilih satu tujuan yang diharapkan dapat dicapai di mana tujuan yang dipilih tentu saja yang sifatnya realistis untuk dicapai. (b)  Memisahkan pengalaman masa lalu dengan rencana yang sedang dilakukan. Hal ini penting untuk dilakukan agar pengaruh kegagalan masa lalu tidak tercampur baur dengan rencana yang sedang dilakukan. (c) Tetap berusaha  mempertahankan prestasi yang baik dengan cara berusaha tetap fokus dengan keberhasilan yang telah dicapai. (d) Membuat daftar urutan situasi atau kegiatan yang diharapkan dapat diatasi atau dapat dilakukan mulai dari yang paling mudah sampai ke yang paling sulit. Hal ini penting untuk mengingkatkan efikasi secara bertahap dalam pengerjaan hal-hal yang sulit.





DAFTAR PUSTAKA
Alwilsol, (2006). Psikologi Kepribadian. Malang. UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang.
Azwar, S. 2005. Dasar-Dasar Psikometri. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bandura, A.  (1997).  Self-efficacy.  The  Exercise of Control. New York: Freeman.
Bergeron,  L.M.,  &  Romano,  J.L.  (1994).  The relationships  among  career  decision making  self-efficacy,  educational indecision,  vocational  indecision,  and gender.    Journal  of  College  Student Development, 35, 19-24.
Betz,  N.E.,  &  Luzzo,  D.A.  (1996).  Career assessment and the career decision-zaking self-efficacy  scale.  Journal  of  Career Assessment, 4, 413-428.
Betz,  N.E.,  Klein,  K.,  &  Taylor,  K.  (1996). Evaluation  of  a  short  form  of the  Career Decision-Making  Self-efficacy  Scale. Journal of Career Assessment, 4, 47-57.
Betz, N.E., & Taylor, K.M.  (2006). Manual for the  Career  Decision  Self-fficcay Scale and  CDSE-Short  Form.  Ohio:  The  Ohio State University.
Carkhuff. R (1985) The Art of Helping, Massachusetts. Human Resource Development Press.
Creed,  P.,  Patton, W.,  &  Prideaux,  L.  (2006). Causal  relationship  between  career indecision  and  career  decision-making self-efficacy.  Journal  of  Career Development, 33(1), 47-65.
Departemen Agama RI. 2007. Syamil Al Qur’an. Jakarta.
Dillar, JM (1985) Life Long Career Planing. Ohio. Charles E. Merril Publishing. Co.
Heppner, Paul, at al. Research Design in Counseling. Third edition. Thomson brooks/cole.
Lindzey. H (1985) Introduction Theories of Personality, New York. John Willey & Sons.
Mau,  W.  (2000).  Cultural  differences  in career  decision-making  styles  and self-efficacy.  Journal  of  Vocational Behavior, 57, 365-378.
Moesono,  A.  (2001).  ”Decision  making” memilih  studi  psikologi  pada mahasiswa  baru  Fakultas  Psikologi Universitas  Indonesia.  Jurnal Psikologi Sosial, IX(VII), 79-87.
Nauta, M.M & Kahn, J.H. (2007). Identity status,  consistency  and differentiation  of  interests,  and career decision self-efficacy. Journal of Career Assessment, 15, 55-65.
Oettingen,  G.  &  Zosuls,  K.M.  (2006). Culture  and  self-efficacy  in dolescents.  In  F.  Pajares.,  &  T. Urdan  (Eds.).  Self-efficacy  belief  of adolescents  (pp.  245-265). Connecticut:  Information  Age Publishing, Inc.
Osipow, Samuel (1983). Theories of Career Development, New Jersey. Prentice Hall.

Pope, Mark  (1999). Applications of group career counseling techniques in Asian cultures. Journal of Multicultural Counseling & Development; Vol. 27, 13-18.
Sadiyah, Yies. 1997. Bimbingan dan Konseling di Sekolah. IAIN SGD Bandung
Santrock, J.W. (1999). Life-span Development (Seventh Edition). New York: McGraw-Hill, Inc.
Santrock, J.W. 2003. Adolescence Perkembangan Remaja. Jakarta: Erlangga.
Savickas, M. L. 2001. A Developmental Perspective on Vocational Behavior: Career Pattern, Salience, and Themes. International Journal for Educational and Vocational Guidance, 1, 49-57.
Schmitt-Rodermund, E., & Vondracek, F. W.  (1999).  Breadth  of  interests, exploration,  and  identity development in adolescence. Journal of  Vocational  Behavior,  55,  298-317.
Schulenberg,  J.E.  (1988).  Factorial invariance  of  career  indecision dimensions  across  junior high and high school males and  females.  Journal  of Vocational  Behavior,  33, 63-81.
Soemanto. (1998). Kepemimpinan dan Supervisi Pendidikan. Jakarta: Bina Aksara.
Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Pendidikan. Alfabeta : Bandung.
Sukardi (1989) Bimbingan Karier di Sekolah-sekolah. Jakarta Timur. Ghalia Indonesia.
Taylor,  K.M.,  &  Betz,  N.E. (1983). Application of self-efficacy theory to the understanding  and treatment  of  career indecision.  Journal  of Vocational  Behavior,  22, 63-81.

Taylor,  K.M.,  &  Popma,  J. (1990). An  examination  of the  relationship  among career  decision-making self-efficacy,  career salience,  locus  of  control, and  vocational  indecision. Journal  of  Vocational Behavior, 37, 17-31.

Tohirin. 2007. Bimbingan dan Konseling di Madrasah. Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Winkel, W.S., & Hastuti, S. 2004. Bimbingan Karier di Institusi Pendidikan. Jakarta: Media Abadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar